BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Misi
rasulullah yang utama adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Maka,
seorang mulim dalam melakukan apa saja harus didasari oleh akhlak mulia. Dalam
berekonomi, politik, mengembangkan
pendididikan, hukum, bermasyarakat dan
lain-lain harus didasarkan pada akhlak yang luhur. Selalu dibayangkan
bahwa, tidak akan mungkin seorang muslim
melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan keyakinannya itu.
Namun yang
seringkali terjadi bahwa masih terdapat pemisahan yang sedemikian tajam antara
persoalan agama dan persoalan kehidupan
lain pada umumnya. Agama dianggap sebagai variabel tersendiri, terpisah dari
kegiatan kehidupan pada umumnya. Maka
yang lahir adalah kehidupan pribadi yang tidak utuh. Seolah-olah antara ke
pasar sebagai upaya mencari rizki dianggap berbeda ketika ke masjid untuk
shalat berjama’ah. Ke masjid dianggap mencari bekal ke akhirat, sementara ke
pasar dianggap untuk mendapatkan rizki untuk mencukupi kegiatan di dunia dan
masih banyak lagi contoh yang lain.
Cara
berpikir dikotomis seperti itulah kira-kira yang menjadikan Islam tidak
dipandang sebagai ajaran yang utuh dan komprehensif hingga melahirkan perilaku
yang terbelah itu. Sehingga akibatnya,
antara kegiatan ritual dan kegiatan sosial menjadi tidak menyatu. Akibatnya muncul istilah shaleh ritual, shaleh sosial dan shaleh intelektual. Perbedaan-perbedaan itu pula
yang seolah-olah dalam ajaran Islam bisa dipilah-pilah.
Padahal untuk
mengantarkan ummat manusia agar menjadi selamat dan sekaligus bahagia, baik di
dunia maupun di akherat bukan sebatas
agama, melainkan juga peradaban. Islam
sebenarnya sebuah ajaran yang memiliki
kekuatan pengubah dan sekaligus memberikan petunjuk dan arah, agar manusia dalam hidupnya mendapatkan derajat mulia. Dan orang yang demikian itu adalah memiliki karakter
yang unggul. Dengan demikian,
sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad bahwa, Islam datang di muka bumi
adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia atau karakter yang unggul. Maka
kami berinisiatif untuk menyusun makalah ini yang berjudul “Pendidikan Karakter
Dalam Islam”.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah
yang dimaksud dengan pendidikan karakter?
2. Bagaimanakah
penididikan karakter dalam islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Karakter
Istilah
karakter secara harfiah berasal dari bahasa latin charakter, yang antara lain
berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau
akhlak (Oxford). Sedangkan secara istilah, karakter diartikan sebagai sifat
manusia pada umumnya dimana manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung dari
faktor kehidupannya sendiri.
Menurut
Simon Philips dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:235), karakter adalah
kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran,
sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sedangkan Doni Koesoema A (2007:80)
memahami bahwa karakter sama dengan kepribadian.
Kepribadian
dianggap sebagai ”ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari
diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari
lingkungan, misalnya lingkungan keluarga pada masa kecil dan juga bawaan
seseorang sejak lahir.” Hal yang selaras disampaikan dalam Buku Refleksi
Karakter Bangsa (2008:233) yang mengartikan karakter bangsa sebagai kondisi
watak yang merupakan identitas bangsa.
Sementara
Winnie memahami bahwa istilah karakter diambil dari bahasa Yunani yang berarti
‘to mark’ (menandai). Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku.
Ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, ia menunjukkan bagaimana
seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam,
atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk.
Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang
tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat
kaitannya dengan ‘personality’. Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang
berkarakter’ (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah
moral. Sedangkan Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan
akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang
telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan
lagi.
Karakter
adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang
atau sekelompok orang, definisi dari The stamp of individually or group
impressed by nature, education or habit. Karakter merupakan nilai-nilai
perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,
sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap,
perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata
krama, budaya, dan adat istiadat. Karakter dapat juga diartikan sama dengan
akhlak dan budi pekerti, sehingga karakter bangsa identik dengan akhlak bangsa
atau budi pekerti bangsa. Bangsa yang berkarakter adalah bangsa yang berakhlak
dan berbudi pekerti, sebaliknya bangsa yang tidak berkarakter adalah bangsa
yang tidak atau kurang berakhlak atau tidak memiliki standar norma dan perilaku
yang baik.
Pengertian
Makna Pendidikan Karakter merupakan suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter
kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan
sehingga menjadi manusia insan kamil. Konfigurasi karakter dalam konteks
totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam:
Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual
development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic
development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development).
Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan
mengacu pada grand design tersebut. Semoga anda sedikit mendapatkan gambaran
tentang pengertian makna pendidikan karakter. Jadi, ‘orang berkarakter’
adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif.
Pendidikan adalah proses
internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat
orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer
ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan
dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan sosialisasi). Anak harus mendapatkan
pendidikan yang menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu
mencakup sekurang-kurangnya tiga hal paling mendasar, yaitu: (1) afektif yang
tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti
luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang
tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan
mengembang-kan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3)
psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis,
kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.
Dengan
demikian, pendidikan karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat
atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang
positif atau baik, bukan yang negatif atau buruk. Hal ini didukung oleh
Peterson dan Seligman (Gedhe Raka, 2007:5) yang mengaitkan secara langsung
’character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai
unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria
utama dari ‘character strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi
besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam
membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya, orang lain, dan
bangsanya
B. Menumbuhkan Karakter Islami
Islam yang
mengatur tawazun (keseimbangan) kehidupan dunia dan akhirat. Rasulullah saw.
dalam membentuk generasi pilihan sangat mengintensifkan tiga kecerdasan yaitu
emosional, spritual dan intelektul. Hasilnya dapat dilihat dan dirasakan,
dimana banyak dilahirkan pejuang Islam hebat seperti Abu Bakar, Umar, Utsman,
Ali dan sahabat lainnya. Ada beberapa prinsip strategis pembentukan karakter
Rasulullah kepada para sahabat sebagai generasi penerusnya.
Pertama,
Rasulullah SAW sangat fokus kepada pembinaan dan penyiapan kader. Fakta
itu dapat dilihat sejak beliau mulai mendapatkan amanah dakwah. Tugas
menyebarkan Islam dijalankan dengan mencari bibit kepemimpinan unggul dan
berhati bersih. Dakwah beliau fokus tidak menyentuh segi kehidupan politik
Makkah. Selain faktor instabilitas dan kekuatan politik, perjuangan dakwah
memang difokuskan nilai pembinaan.
Beliau
berusaha menanamkan karakter kenabian yaitu siddiq (jujur), amanah
(dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan) dan fatonah (cerdas).
Rumah Arqam bin Abil Arqam menjadi saksi bagaimana lahirnya kepemimpinan Islam.
Point penting pertama pendidikan karakter dalam islam adalah fokus, bertahap dan konsisten terhadap
pembinaan sejak dini.
Kedua,
mengutamakan bahasa perbuatan lebih baik dari perkataan. Aisyah menyebut
Rasulullah SAW sebagai Al Qur’an yang berjalan. Sebutan itu tidak salah,
mencermati Sirah Nabawiyah menjadikan kita menuai kesadaran rekonstruksi
pemikiran dan tindakan Rasulullah saw. Beliau berbuat dulu, baru menyerukan
kepada kaumnya untuk mengikutinya. Keshalihan individu berhasil membentuk
keshalihan kolektif di masyarakat Makkah dan Madinah.
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_öt ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sur ©!$# #ZÏVx. ÇËÊÈ
“Sesungguhnya pada diri Rasulullah saw. terdapat
contoh tauladan bagi mereka yang menggantungkan harapannya kepada Allah dan
Hari Akhirat serta banyak berzikir kepada Allah” (QS.
al-Ahzab (33) : 21)
Ketika berdakwah di masyarakat Thaif
dirinya mendapat perlakuan buruk dilempari kotoran. Pada saat itu datanglah
Malaikat Jibril menawarkan jasa. “Hai muhammad jika engkau kehendaki gunung
yang ada dihadapanmu ini untuk aku timpahkan kepada penduduk Thaif, niscaya
sekarang juga aku lakukan.” Nabi menjawab “Jangan Jibril, semua itu
dilakukan mereka karena ketidaktahuan mereka” kemudia nabi berdo’a
“allâhumahdî qaumî fainnahû lâ ya’lamûn” “Ya Allah berikanlah hidayah kepada
kaumku sesungguhnya mereka tidak mengetahui” Alhamdulillah, Allah SWT mendengar
doanya, masyarakat Thaif banyak menjadi pengikut Islam. Point penting
kedua, berikan keteladanan baru mengajak orang lain mengikuti apa yang kita
lakukan.
Ketiga, menanamkan keyakinan
bersifat ideologis sehingga menghasilkan nilai moral dan etika dalam mengubah
masyarakatnya. Beliau meluruskan kemusyrikan mereka dengan mengajarkan kalimat
tauhid yakni meyakini Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah.
Karakter tauhid menghasilkan pergerakan manusia yang dilandasi syariat Islam
dalam menjalankan kehidupan. Mengutip Nur Faizin (Republika, 13/10) Pendidikan
karakter yang terpenting adalah pendidikan moral dan etika. Rasulallah SAW
sendiri pun menegaskan hal itu dalam sabdanya, “Aku hanya diutus untuk
menyempurnakan akhlak karimah.” (HR Ahmad dan yang lain). Menumbuhkan kembali
akhlak karimah haruslah menjadi kompetensi dalam proses pendidikan karakter
setiap bangsa.
Dengan demikian karakter itu harus
memadukan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Rasulullah SAW sudah
memberikan teladan itu dengan membangun pendidikan berbasis moral dan etik.
Pembangunan pendidikan dapat dimulai dari Pesantren, Kampus dan Sekolah sebagai
tempat subur pembinaan sekaligus pemberdayaan karakter generasi muda. Karena
dengan moral yang baik dan etika yang berlandaskan ideologi yang benar akan
membentuk komunitas masyarakt bangsa yang rahmatan lil alamin.
C. Pendidikan Karakter dalam Islam
Puncak karakter seorang muslim adalah taqwa, dan
indikator ketaqwaannya adalah terletak pada akhlaknya. Bangsa yang Beradab
adalah bangsa yang maju. Tujuan pendidikan yaitu manusia berkarakter taqwa
yaitu manusia yang memiliki akhlak budi pekerti yang luhur. Karakter
dibangun berdasarkan pemahaman tentang hakikat dan struktur kepribadian manusia
secara integral. Sehingga manusia berkarakter taqwa adalah gambaran manusia
ideal yaitu manusia yang memiliki kecerdasan spiritual (spiritual quotient).
Kecerdasan spiritual inilah yang
seharusnya paling ditekankan dalam pendidikan. Hal ini dilakukan dengan
penanaman nilai-nilai etis religius melalui keteladanan dari keluarga, sekolah
dan masyarakat, penguatan pengamalan peribadatan, pembacaan dan penghayatan
kitab suci Al-Qur’an, penciptaan lingkungan baik fisik maupun sosial yang
kondusif.
Apabila spiritualitas anak sudah
tertata, maka akan lebih mudah untuk menata aspek-aspek kepribadian
lainnya. Maksudnya, kalau kecerdasan spiritual anak berhasil
ditingkatkan, secara otomatis akan meningkatkan kecerdasan-kecerdasan lainnya
seperti kecerdasan emosional (emotional quotient), kecerdasan memecahkan
masalah (adversity quotient) dan kecerdasan intelektual (intellectual
quotient). Inilah sebenarnya kunci mengapa aktifitas pendidikan yang berbasis
agama lebih banyak berhasil dalam membentuk kepribadian anak.
Keterpaduan, keserasian dan
pencahayaan Godspot (ruh) terhadap kalbu, akal dan nafsu dan jasad jelas akan
memaksimalkan kecerdasan dan fungsi masing-masing. Dalam konteks tujuan
pendidikan, hal ini akan mampu membentuk anak didik yang memiliki kekokohan
akidah (quwwatul aqidah), kedalaman ilmu (quwwatul ilmi), ketulusan dalam
pengabdian (quwwatul ibadah) dan keluhuran pribadi (akhlakul karimah).
Abdurrahman Saleh Abdullah
mengatakan bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk memberikan keperibadian
sebagai khalifah Allah SWT. Tujuan utama khalifah Allah adalah beriman kepada
Allah dan tunduk serta patuh secara total kepadanya yang didasarkan pada sifat
dasar manusia, yaitu tubuh, ruh, dan akal yang masing-masing harus
dijaga.
Pendidikan karakter seharusnya
berangkat dari konsep dasar manusia: fitrah. Setiap anak dilahirkan menurut
fitrahnya, yaitu memiliki akal, nafsu (jasad), hati dan ruh. Konsep inilah yang
sekarang lantas dikembangkan menjadi konsep multiple intelligence. Dalam Islam
terdapat beberapa istilah yang sangat tepat digunakan sebagai pendekatan
pembelajaran. Konsep-konsep itu antara lain: tilâwah, ta’lîm’, tarbiyah,
ta’dîb, tazkiyah dan tadlrîb. Tilâwah menyangkut kemampuan membaca; ta’lim
terkait dengan pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual
quotient); tarbiyah menyangkut kepedulian dan kasih sayang secara
naluriah yang didalamnya ada asah, asih dan asuh; ta’dîb terkait dengan
pengembangan kecerdasan emosional (emotional quotient); tazkiyah terkait dengan
pengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient); dan tadlrib terkait
dengan kecerdasan fisik atau keterampilan (physical quotient atau adversity
quotient).
Metode pembelajaran yang menyeluruh dan
terintegrasi. Pendidik yang hakiki adalah Allah, guru adalah penyalur hikmah
dan berkah dari Allah kepada anak didik. Tujuannya adalah agar anak didik
mengenal dan bertaqwa kepada Allah, dan mengenal fitrahnya sendiri. Pendidikan
adalah bantuan untuk menyadarkan, membangkitkan, menumbuhkan, memampukan dan
memberdayakan anak didik akan potensi fitrahnya.
Untuk mengembangkan kemampuan
membaca, dikembangkan metode tilawah tujuannya agar anak memiliki kefasihan
berbicara dan kepekaan dalam melihat fenomena. Untuk mengembangkan potensi
fitrah berupa akal dikembangkan metode ta’lîm, yaitu sebuah metode pendidikan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang menekankan pada pengembangan aspek kognitif
melalui pengajaran. Dalam pendidikan akal ini sasarannya adalah terbentuknya
anak didik yang memiliki pemikiran jauh ke depan, kreatif dan inovatif.
Sedangkan output-nya adalah anak yang memiliki sikap ilmiah, ulûl albâb dan
mujtahid. Ulul Albab adalah orang yang mampu mendayagunakan potensi pikir
(kecerdasan intelektual/IQ) dan potensi dzikirnya untuk memahami fenomena
ciptaan Tuhan dan dapat mendayagunakannya untuk kepentingan kemanusiaan.
Sedangkan mujtahid adalah orang mampu memecahkan persoalan dengan kemampuan
intelektualnya. Hasilnya yaitu ijtihad (tindakannya) dapat berupa ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Outcome dari pendidikan akal (IQ) terbentuknya
anak yang saleh (waladun shalih).
Pendayagunaan potensi pikir dan
zikir yang didasari rasa iman pada gilirannya akan melahirkan kecerdasan
spiritual (spiritual quotient/SQ). Dan kemampuan mengaktualisasikan kecerdasan
spiritual inilah yang memberikan kekuatan kepada guru dan siswa untuk meraih
prestasi yang tinggi.
Metode tarbiyah digunakan untuk
membangkitkan rasa kasih sayang, kepedulian dan empati dalam hubungan interpersonal
antara guru dengan murid, sesama guru dan sesama siswa. Implementasi metode
tarbiyah dalam pembelajaran mengharuskan seorang guru bukan hanya sebagai
pengajar atau guru mata pelajaran, melainkan seorang bapak atau ibu yang
memiliki kepedulian dan hubungan interpersonal yang baik dengan siswa-siswinya.
Kepedulian guru untuk menemukan dan memecahkan persoalan yang dihadapi siswanya
adalah bagian dari penerapan metode tarbiyah.
Metode ta’dîb digunakan untuk
membangkitkan raksasa tidur, kalbu (EQ) dalam diri anak didik. Ta’dîb lebih
berfungsi pada pendidikan nilai dan pengembangan iman dan taqwa. Dalam
pendidikan kalbu ini, sasarannya adalah terbentuknya anak didik yang memiliki
komitmen moral dan etika. Sedangkan out put-nya adalah anak yang memiliki
karakter, integritas dan menjadi mujaddid. Mujaddid adalah orang yang memiliki
komitmen moral dan etis dan rasa terpanggil untuk memperbaiki kondisi
masyarakatnya. Dalam hal mujaddid ini Abdul Jalil (2004) mengatakan: “Banyak
orang pintar tetapi tidak menjadi pembaharu (mujaddid). Seorang pembaharu itu
berat resikonya. Menjadi pembaharu itu karena panggilan hatinya, bukan karena
kedudukan atau jabatannya”.
Metode tazkiyah digunakan untuk
membersihkan jiwa (SQ). Tazkiyah lebih berfungsi untuk mensucikan jiwa dan
mengembangkan spiritualitas. Dalam pendidikan Jiwa sasarannya adalah
terbentuknya jiwa yang suci, jernih (bening) dan damai (bahagia). Sedang
output-nya adalah terbentuknya jiwa yang tenang (nafs al-mutmainnah), ulûl
arhâm dan tazkiyah. Ulûl arhâm adalah orang yang memiliki kemampuan jiwa untuk
mengasihi dan menyayangi sesama sebagai manifestasi perasaan yang mendalam akan
kasih sayang Tuhan terhadap semua hamba-Nya. Tazkiyah adalah tindakan yang
senantiasa mensucikan jiwanya dari debu-debu maksiat dosa dan tindakan sia-sia
(kedlaliman).
Metode tadlrîb (latihan) digunakan
untuk mengembangkan keterampilan fisik, psikomotorik dan kesehatan fisik.
Sasaran (goal) dari tadlrîb adalah terbentuknya fisik yang kuat, cekatan dan
terampil. Output-nya adalah terbentuknya anaknya yang mampu bekerja keras,
pejuang yang ulet, tangguh dan seorang mujahid. Mujahid adalah orang yang mampu
memobilisasi sumber dayanya untuk mencapai tujuan tertentu dengan kekuatan,
kecepatan dan hasil maksimal.
Sebenarnya metode pembelajaran yang
digunakan di sekolah lebih banyak dan lebih bervariasi yang tidak mungkin semua
dikemukakan di sini secara detail. Akan tetapi pesan yang hendak dikemukakan di
sini adalah bahwa pemakaian metode pembelajaran tersebut adalah suatu bentuk
mission screed yaitu sebagai penyalur hikmah, penebar rahmat Tuhan kepada anak
didik agar menjadi anak yang saleh. Semua pendekatan dan metode pendidikan dan
pengajaran (pembelajaran) haruslah mengacu pada tujuan akhir pendidikan yaitu terbentuknya
anak yang berkarakter taqwa dan berakhlak budi pekerti yang luhur. Metode
pembelajaran dikatakan mengemban misi suci karena metode sama pentingnya dengan
substansi dan tujuan pembelajaran itu sendiri.
Pendekatan dan metode pendidikan dan
pengajaran (pembelajaran) mengacu pada tujuan akhir pendidikan yaitu
terbentuknya anak yang berkarakter taqwa dan berakhlak budi pekerti yang luhur.
Serta bagi mereka yang sudah dewasa tetap dituntut adanya pengembangan diri
agar kualitas keperibadian meningkat serempak dengan meningkatnya tantangan
hidup yang selalu berubah. Dalam hubungan ini dikenal apa yang disebut
Pendidikan sepanjang hidup. Pembentukan pribadi mencakup pembentukan cipta,
rasa, karsa (kognitif, afektif, psikomotor) yang sejalan dengan pengembangan
fisik.
Belajar adalah pertualangan seumur
hidup, perjalanan eksplorasi tanpa akhir untuk menciptakan pemahaman personal
kita sendiri. Pertualangan itu haruslah melibatkan kemampuan-kemampuan untuk
secara terus menerus menganalisis dan meningkatkan cara belajar. Juga,
kemampuan untuk sadar akan proses belajar dan berfikir secara mandiri. Belajar
harus dimulai jauh sebelum hari pertama anak dan terus berlangsung seumur
hidupnya. Seharusnya kita tidak boleh berhenti belajar dan mengemplementasikan
apa yang telah kita pelajari.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Karakter adalah sifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok
orang. Pendidikan karakter mengandung
arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan
dimensi moral yang positif atau baik, bukan yang negatif atau buruk. Dengan
demikian bahwa :
1.
Pendidikan karakter dalam islam adalah fokus, bertahap dan konsisten terhadap
pembinaan sejak dini.
2.
Mengutamakan bahasa perbuatan lebih baik dari perkataan.
Aisyah menyebut Rasulullah SAW sebagai Al Qur’an yang berjalan.
3.
Menanamkan keyakinan bersifat ideologis sehingga
menghasilkan nilai moral dan etika dalam mengubah masyarakatnya.
B. Saran
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca dan
kami mengucapkan terimakasih kepada segenap pihak yang telah membantu dalam
pembuatan makalah ini. Selain itu, kritik dan saran dharapkan demi perbaikan
makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://fimadani.com/strategi-pendidikan-karakter-rasulullah/
sharing www.pendikarmuslim.untan.ac.id
BalasHapusKeep fighting..
BalasHapusAlways share like that to make our easy to find something