BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejak akhir dekade 1990-an, telah terjadi berbagai fenomena
yang mendorong perubahan dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, termasuk dalam hal tata kepemerintahan. Globalisasi yang turut
membawa konsep-konsep baru dalam pola hubungan negara (state) dan masyarakat
(society) menjadi salah satu faktor pendorong utama bagi terjadinya
demokratisasi di sejumlah negara, khususnya di negara-negara berkembang seperti
Indonesia.
Secara demikian, negara tidak lagi dipandang sebagai
organisasi yang harus mampu memenuhi semua kebutuhan masyarakatnya. Pandangan
terhadap negara mulai bergeser dengan menempatkan negara menjadi suatu otoritas
yang berperan sebagai fasilitator bagi berbagai kepentingan di masyarakat.
Konsep ini menempatkan masyarakat dalam posisi yang sejajar dalam konteks
hubungan negara dan masyarakat.
Pergeseran konsep government menjadi governance seolah
mendapatkan bukti empirik dengan gagalnya konsep pembangunan yang sentralistis
dengan pendekatan top-down planning. Sebagai antitesis, berkembanglah
kajian-kajian mengenai desentralisasi yang kemudian dikaitkan dengan pendekatan
partisipatif dan bottom-up planning dalam pelaksanaan pembangunan.
Demokratisasi dalam level lokal inilah yang dalam perkembangannya kemudian
mendorong perubahan pola penyelenggaraan pemerintahan di daerah menjadi lebih
desentralistis.
Kebijakan
desentralisasi yang diterapkan dalam kerangka governance mensyaratkan
adanya partisipasi seluruh stakeholders dalam proses pembangunan daerah.
Melalui pembangunan daerah yang partisipatif, diharapkan perencanaan
pembangunan daerah dapat mengakomodasi sebanyak mungkin aspirasi masyarakat,
sehingga hasil perencanaan tersebut dapat sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Dengan demikian, masyarakat tidak hanya terlibat pada saat pelaksanaan suatu
program, tetapi sejak tahap awal perumusan dan perencanaan program-program
tersebut.
Berdasar uraian di atas, generasi muda merupakan salah satu
komponen stakeholders yang perlu dilibatkan dalam pembangunan daerah,
karena memiliki sumber daya yang potensial untuk mendukung keberhasilan
pembangunan daerah. Secara konseptual, definisi mengenai generasi muda dapat
dilihat dari berbagai aspek, seperti dari aspek biologi; aspek budaya; aspek
hukum dan politik; serta aspek psikologis. Pada dasarnya, generasi muda adalah
manusia yang berusia antara lima belas hingga tiga puluh tahun. Demikian pula
dalam hal semangat dan idealisme, generasi muda dikenal sebagai kelompok
masyarakat yang memiliki kreativitas dan gagasan-gagasan baru dalam memandang
suatu permasalahan.
Akan tetapi, potensi ini seringkali belum dimanfaatkan
secara optimal, bahkan pelibatan generasi muda pun cenderung dimobilisasi untuk
kepentingan elit tertentu. Padahal, dari segi kuantitas, generasi muda
sebenarnya merupakan satu representasi dari kekuatan politik tersendiri yang
mampu mempengaruhi pembuatan kebijakan. Dilihat dari segi kebutuhan, generasi
muda adalah sumber daya manusia bagi masa yang akan datang. Sebagai potensi
daerah dan bangsa, generasi muda perlu dipersiapkan agar berpartisipasi aktif
dan dapat memberikan sumbangan yang positif dalam berbagai proses pembangunan
daerah atau nasional. Generasi muda tidak hanya dijadikan obyek, tetapi juga
ditempatkan sebagai subyek dalam pembangunan.
Dalam upaya mempersiapkan, membangun dan memberdayakan
generasi muda agar mampu berperan serta sebagai pelaku-pelaku aktif
pembangunan, maka akan dihadapkan pada berbagai permasalahan dan tantangan,
misalnya dengan munculnya berbagai permasalahan sosial yang melibatkan atau
dilakukan generasi muda seperti tawuran dan kriminalitas lain, penyalahgunaan
narkoba dan zat adiktiflain, minuman keras, penyebaran penyakit HIV/Aids dan
penyakit menular, penyaluran aspirasi dan partisipasi, serta apresiasi terhadap
kalangan generasi muda. Apabila permasalahan tersebut tidak memperoleh
perhatian atau penanganan yang sesuai dengan konsepsinya, maka dikhawatirkan
akan menimbulkan dampak yang luas dan mengganggu kesinambungan, kestabilan
dalam proses pembangunan.
Permasalahan lainnya terkait dengan generasi muda adalah
ketahanan budaya dan kepribadian --khususnya Sunda, Jawa Barat-- di kalangan
generasi muda yang semakin luntur, yang disebabkan cepatnya perkembangan dan
kemajuan teknologi komunikasi, derasnya arus informasi global yang berdampak
pada penetrasi budaya asing. Hal ini mempengaruhi pola pikir, sikap, dan
perilaku generasi muda di Jawa Barat. Persoalan tersebut dapat dilihat dari
kurang berkembangnya kemandirian, kreativitas, serta produktivitas dikalangan
generasi muda, sehingga generasi muda kurang dapat berpartisipasi dalam proses
pembangunan yang sesuai dengan karakter daerah.
Permasalahan yang tidak kalah pentingnya adalah era
globalisasi yang terjadi diberbagai aspek kehidupan yang sangat mempengaruhi
daya saing generasi muda. Sehingga generasi muda baik langsung maupun tidak
langsung dituntut untuk mempunyai keterampilan, baik bersifat keterampilan
praktis maupun keterampilan yang menggunakan teknologi tinggi untuk mampu
bersaing dalam menciptakan lapangan kerja atau mengembangkan jenis pekerjaan
yang sedang dijalaninya.
Cepat atau lambat, hal ini akan mengancam upaya pembentukan
moral dan agama yang kuat di kalangan generasi muda. Tantangan lain adalah
belum terumuskannya kebijakan pembangunan bidang pemuda secara serasi,
menyeluruh, terintegrasi dan terkoordinasi antara kebijakan di tingkat nasional
dengan kebijakan di tingkat daerah.
B.
Rumusan Masalah
1.
bagaimana membangun Generasi Muda yang Progresif, Agamis dan
Nasionalis?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Generasi
Muda yang Progresif
Generasi muda memiliki kecenderungan untuk bersikap antusias
dalam menghadapi berbagai isu, baik yang terkait langsung maupun tidak langsung
dengan kehidupan mereka sehari-hari. Selain itu, idealisme yang terkandung
dalam jiwa dan pikiran generasi muda memungkinkan generasi muda untuk memainkan
peranan penting dalam kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Karena
sifatnya ini, generasi muda menjadi kelompok yang potensial untuk mendukung
pembangunan.
Dengan demikian, generasi muda perlu dilibatkan dalam setiap
perencanaan pembangunan, sehingga pelayanan dapat lebih disesuaikan dengan
sasaran yang ingin dicapai. Namun demikian, progresifitas generasi muda tidak
hanya penting dalam kerangka pemberdayaan generasi muda, tapi juga memberikan
kontribusi bagi penyiapan generasi selanjutnya, serta regenerasi kepemimpinan
di masa mendatang.
Generasi muda yang progresif di sisi lain di tandai dengan
generasi muda yang mau untuk berfikir diluar “pakem” yang telah membudaya
(think out the box), guna “menciptakan” atau sekedar eksplorasi guna menemukan
hal-hal baru yang berguna bagi kehidupan umat manusia. Dengan kata lain,
generasi muda yang progresif adalah generasi muda yang mampu dan dapat berfikir
kritis dalam menghadapi realitas sosial politik yang sedang terjadi.
Peran generasi muda juga menjadi penting bagi masa depan
daerah-daerah yang pernah, misalnya, mengalami konflik. Sifat menghargai dan
keterbukaan terhadap berbagai ide dan budaya dapat menjembatani beragam etnis,
ras, kelompok-kelompok sosial dan politik. Dengan memanfaatkan potensi ini,
diharapkan ada sebuah peluang untuk menciptakan masa depan yang lebih damai
bagi generasi berikutnya.
Dalam kaitannya dengan progresifitas generasi muda, peran
generasi muda seyogyanya didorong melalui 5 (lima) strategi berikut, yaitu:
Pertama,
mendorong pelibatan generasi muda dalam proses pengambilan keputusan:
Generasi muda hendaknya ditempatkan dan berusaha menempatkan diri dalam posisi strategis agar aspirasinya didengar khususnya dalam pembuatan kebijakan yang secara langsung terkait dengan kebutuhannya. Generasi muda perlu diberi ruang untuk mengekspresikan pandangan mereka dan berkontribusi bagi pembuatan kebijakan-kebijakan yang secara tidak langsung terkait dengan masalah kepemudaan.
Generasi muda hendaknya ditempatkan dan berusaha menempatkan diri dalam posisi strategis agar aspirasinya didengar khususnya dalam pembuatan kebijakan yang secara langsung terkait dengan kebutuhannya. Generasi muda perlu diberi ruang untuk mengekspresikan pandangan mereka dan berkontribusi bagi pembuatan kebijakan-kebijakan yang secara tidak langsung terkait dengan masalah kepemudaan.
Kedua,
mengembangkan kemampuan kewirausahaan:
Semangat
kewirausahaan (enterpreunerships) dapat mendorong generasi muda untuk mampu
bertahan manakala memasuki dunia usaha. Secara tidak langsung, upaya ini dapat
membantu meminimalkan tingkat pengangguran bagi daerah dan terutama sekali bagi
bangsa.
Ketiga,
memaksimalkan peran generasi muda dalam mengatasi hambatan-hambatan budaya,
etnis, dan ras:
Melalui
komunikasi antargenerasi dari beragam latarbelakang budaya, etnis, dan ras,
generasi muda dapat membangun jaringan (networking) untuk saling tukar-menukar
informasi dan kerjasama antarbudaya. Pengenalan budaya ini dapat membantu
terwujudnya saling pengertian antar generasi muda.
Keempat,
memberdayakan generasi muda dalam pembangunan:
Generasi
muda merupakan salah satu unsur penting yang menunjang pelaksanaan pembangunan
sehingga perlu ada upaya pemberdayaan yang terencana dan komprehensif untuk
memaksimalkan kemampuan generasi muda.
Kelima,
menempatkan generasi muda sebagai visi pembangunan:
Karena
generasi muda merupakan aktor penting sekaligus penerima manfaat dari
pelaksanaan pembangunan, maka perlu ada upaya untuk merancang pelibatan
generasi muda dalam sasaran dan penyusunan program-program pembangunan. Secara
demikian, progresifitas generasi muda akan kentara secara nyata.
B.
Generasi Muda yang Agamis dan
Berbudaya
Generasi muda yang agamis ditandai dengan laku dan tindak
dari pemuda yang dilandasi oleh moral-moral normatif agama. Pada intinya,
setiap agama mengajarkan keselarasan guna menuju kehidupan yang lebih baik.
Yang membedakan diantara agama-agama tersebut hanyalah cara untuk menggapai
keselarasan kebahagaiaan tersebut.
Generasi muda yang agamis menurut Azyumardi Azra dapat
dilihat dari tiga kategori, pertama, generasi muda yang memiliki visi, yakni
generasi muda yang mau membangun tradisi intelektual dan wacana pemikiran
melalui intelectual enlightement (pencerahan intelektual) dan intelectual
enrichment (pengkayaan intelektual). Strategi pendekatan yang digunakan ialah
melalui pemaksimalan potensi kesadaran dan penyadaran individu yang
memungkinkan terciptanya komunitas ilmiah.
Kedua, generasi muda yang memiliki nilai, yaitu berupa usaha
untuk mempertajam hati nurani melalui penanaman nilai-nilai moral agama
sehingga terbangun pemikiran dan konseptual yang mendapatkan pembenaran dari
Al-Qur’an. Ketiga, generasi muda yang memiliki keberanian dalam melakukan
aktualisasi program, misalnya dalam melakukan advokasi terhadap permasalahan masyarakat
dan keberpihakan dalam pemberdayaan umat.
Generasi
muda secara agamis dan berbudaya dalam arti luas dapat dipandang sebagai proses
pengembangan potensi diri manusia yang telah ada secara alami. Potensi diri
yang dimaksud adalah kemampuan intelejensia, emosional, spiritual, dan
aksional. Usaha peningkatan potensi diri tersebut diupayakan agar mencapai
kemampuan yang dikehendaki sampai derajat tertentu. Pada masyarakat Sunda,
seseorang bisa dikatakan memiliki potensi diri berdasarkan derajat yang diharapkan
jika memenuhi adeg-adeg manusia Sunda sebagai berikut:
Luhung elmuna yaitu generasi muda yang
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dan memiliki daya saing
tinggi;
Pengkuh
agamana yaitu
generasi muda yang memiliki keimanan dan ketakwaan (imtak);
Jembar
budayana yaitu
generasi muda yang “tidak gagap budaya”, tidak kehilangan jati diri, dan
memegang teguh prinsip pribadinya;
Rancage
gawena yaitu
generasi muda yang berprestasi, berprilaku aktif, mampu mengimplementasikan
berbagai program kerja dengan baik, ngigelan jeung ngigel­keun jaman. Untuk
mencapai derajat tersebut, para sesepuh masyarakat Sunda memiliki cara
pendidikan yang mengacu pada kebiasaan para orangtua dahulu dengan metode 5
(lima) S yaitu:
Silib yaitu sesuatu yang dikatakan secara
tidak langsung tetapi dikias­kan pada hal lain;
Sindir yaitu sesuatu yang dikatakan secara tidak langsung tetapi menggunakan susunan kalimat yang berbeda;
Sindir yaitu sesuatu yang dikatakan secara tidak langsung tetapi menggunakan susunan kalimat yang berbeda;
Simbul yaitu menyampaikan sesuatu maksud
dalam bentuk lambang;
Siloka yaitu menyampaikan sesuatu maksud
dalam bentuk pengandaian;
Sasmita yaitu pemaknaan yang berkaitan dengan perasaan hati.
Sasmita yaitu pemaknaan yang berkaitan dengan perasaan hati.
Berdasarkan metode tersebut, wujud sosok generasi muda Sunda
akan tercapai dalam diri yang ditandai oleh sifat-sifat unggul yaitu:
Cageur yaitu generasi muda yang sehat
fisik dan psikhisnya;
Bageur yaitu generasi muda yang hidupnya selalu taat hukum, baik hukum agama, hukum positif, maupun hukum adat;
Bageur yaitu generasi muda yang hidupnya selalu taat hukum, baik hukum agama, hukum positif, maupun hukum adat;
Bener yaitu generasi muda yang jelas
tujuan hidupnya, beriman dan bertakwa, memiliki visi dan misi yang baik dan
terukur;
Pinter yaitu generasi muda yang berilmu,
berprestasi, arif, bijaksana, serta mampu mengatasi berbagai masalah dengan
baik dan benar;
Singer yaitu generasi muda yang proaktif,
beretos kerja tinggi, terampil dan berpres­tasi;
Teger yaitu generasi muda yang kuat hati, teguh, tangguh, dan tidak mudah putus asa;
Teger yaitu generasi muda yang kuat hati, teguh, tangguh, dan tidak mudah putus asa;
Pangger yaitu generasi muda yang teguh dan
berpendirian kuat, tidak mudah tergoda;
Beleger yaitu generasi muda yang jujur, adil, amanah, mampu memegang kepercayaan yang diterima dirinya.
Beleger yaitu generasi muda yang jujur, adil, amanah, mampu memegang kepercayaan yang diterima dirinya.
Manusia yang demikian pada dasarnya adalah manusia yang
mengemban kewajiban moral dalam kehidupannya sehari-hari. Bentuk kewajiban
moral yang ada pada insan nonoman sunda meliputi:
·
MMT: Moral Manusia terhadap Tuhannya, ditandai oleh kualitas
imtak, berupa pengembangan sebagai generasi yang bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, beriman kepada-Nya, mengajarkan ajaran-ajaran-Nya dalam segala aspek
kehidupan;
·
MMP: Moral Manusia terhadap Pribadinya, ditandai oleh
kualitas sumber daya manusia/ilmu pengetahuan dan teknologi (SDM/Iptek), berupa
dorongan untuk memelihara dirinya, dorongan untuk melindungi dirinya, dan
dorongan untuk mengungkapkan dirinya;
·
MMM: Moral Manusia terhadap Manusia lainnya, ditandai oleh
kemampuan bersosialisasi, hablum minannas;
·
MMA: Moral Manusia terhadap Alam, ditandai oleh kesadaran
terhadap ekologi dan lingkungannya, pengembangan sebagai insan sosial ekonomi,
dan orientasi terhadap masa depan untuk menumbuhkan kepekaan terhadap situasi
masa kini dalam kaitan dan hubungannya dengan masa depan;
·
MMW: Moral Manusia terhadap Waktu, ditandai oleh kesadaran
terhadap waktu, hidupnya akan memiliki visi, misi, dan strategi. Empat
kesadaran terhadap waktu tersebut adalah:
a. Waktu mendapat nikmat dan
kebahagiaan; mampu bersyukur;
b. Waktu mendapat ujian dan
penderitaan; ridha, tabah, dan sabar.
c. Waktu dalam ketaatan, ditandai oleh
sikap istiqamah
d. Waktu terjerumus bermaksiat, mampu
sadar, bertaubat, dan menyesali perbuatannya.
·
MMLB: Moral Manusia Lahir Batin, ditandai oleh kesadaran
beretika, tahu batas, mempunyai rasa malu, adil, jujur, amanah, dan selalu
berhati-hati.
C.
Generasi Muda yang Nasionalis
Generasi muda seringkali dihadapkan pada penyatuan sikap dan
perilakunya dalam jargon yang bernama “Nasionalisme”. Nasionalisme sebagai
ideologi dapat dilihat sebagai sebuah kesadaran nasional.
Menurut Frans Magnis Suseno, ideologi dimaksud sebagai
keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah
gerakan, kelompok sosial atau individu. Ideologi dapat dimengerti sebagai suatu
sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarahnya dan
proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu bentuk hubungan
kekuasaaan. Dengan demikian, ideologi memiliki fungsi mempolakan,
mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi
yang dianutlah yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana generasi
muda memandang sebuah persoalan dan harus berbuat apa untuk mensikapi persoalan
tersebut.
Istilah ideologi adalah istilah yang seringkali dipergunakan
terutama dalam ilmu-ilmu sosial, akan tetapi juga istilah yang sangat tidak
jelas. Banyak para ahli yang melihat ketidakjelasan ini berawal dari rumitnya konsep
ideologi itu sendiri. Ideologi dalam pengertian yang paling umum dan paling
dangkal biasanya diartikan sebagai istilah mengenai sistem nilai, ide,
moralitas, interpretasi dunia dan lainnya.
Menurut Antonio Gramsci, ideologi lebih dari sekedar sistem ide.
Bagi Gramsci, ideologi secara historis memiliki keabsahan yang bersifat
psikologis. Artinya ideologi ‘mengatur’ manusia dan memberikan tempat bagi
manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan
mereka dan sebagainya.
Secara sederhana, Franz Magnis Suseno mengemukakan tiga
kategorisasi ideologi. Pertama, ideologi dalam arti penuh atau disebut juga
ideologi tertutup. Ideologi dalam arti penuh berisi teori tentang hakekat
realitas seluruhnya, yaitu merupakan sebuah teori metafisika. Kemudian
selanjutnya berisi teori tentang makna sejarah yang memuat tujuan dan
norma-norma politik sosial tentang bagaimana suatu masyarakat harus di tata.
Ideologi dalam arti penuh melegitimasi monopoli elit
penguasa di atas masyarakat, isinya tidak boleh dipertanyakan lagi, bersifat
dogmatis dan apriori dalam arti ideologi itu tidak dapat dikembangkan
berdasarkan pengalaman. Salah satu ciri khas ideologi semacam ini adalah klaim
atas kebenaran yang tidak boleh diragukan dengan hak menuntut adanya ketaatan
mutlak tanpa reserve. Dalam kaitan ini Franz Magnis-Suseno mencontohkan
ideologi Marxisme-Leninisme.
Kedua, ideologi dalam arti terbuka. Artinya ideologi yang
menyuguhkan kerangka orientasi dasar, sedangkan dalam operasional keseharianya
akan selalu berkembang disesuaikan dengan norma, prinsip moral dan cita-cita
masyarakat. Operasionalisasi dalam praktek kehidupan masyarakat tidak dapat
ditentukan secara apriori melainkan harus disepakati secara demokratis sebagai
bentuk cita-cita bersama. Dengan demikian, ideologi terbuka bersifat inklusif,
tidak totaliter dan tidak dapat dipakai untuk melegitimasi kekuasaan sekelompok
orang.
Ketiga, Ideologi dalam arti implisit atau tersirat. Ideologi
semacam ini ditemukan dalam keyakinan-keyakinan masyarakat tradisional tentang
hakekat realitas dan bagaimana manusia harus hidup didalamnya. Meskipun
keyakinan itu hanya implisit saja, tidak dirumuskan dan tidak diajarkan namun
cita-cita dan keyakinan itu sering berdimensi ideologis, karena mendukung
tatanan sosial yang ada dan melegitimasi struktur non demokratis tertentu
seperti kekuasaan suatu kelas sosial terhadap kelas sosial yang lain.
Dari beberapa fungsi tersebut, terlihat bahwa pengaruh
ideologi terhadap sikap dan nasionalisme generasi muda sangat berkaitan erat.
Memahami format sosial politik suatu generasi muda akan sulit dilakukan tanpa
lebih dahulu memahami ideologi yang ada dalam generasi muda tersebut. Dari
sinilah terlihat betapa ideologi merupakan perangkat mendasar dan merupakan
salah satu unsur yang akan mewarnai aktivitas sosial dan politik setiap
generasi muda.
Tanda pertama pertumbuhan nasionalisme sebagai sebuah
ideologi sudah bisa dijejaki pada era Renaissance (tepat ketika terjadi
pembakaran reformator agama Jan Hus di Konsili Konstanz, terjadi pula perang
Hussit di Bohemia dan Moravia yang menajamkan kesadaran nasional orang Ceko;
reformasi Martin Luther dan nada anti-Roma serta terjemahan Kitab Suci dalam
bahasa Jerman telah menumbuhkan kesadaran orang-orang Jerman sebagai orang
Jerman).
Nasionalisme dalam arti yang sesungguhnya telah ada sejak
pasca revolusi Perancis. Dalam paham Jean Jacques Rousseau tentang kedaulatan
rakyat, dia mengetengahkan paham tentang ”bangsa”. Pada era romantik (1700 –
1800an) konsep kebangsaan dilihat sebagai sumber masyarakat, (Adams, 2004).
Sejak abad ke-19, nasionalisme telah menjadi motivasi dan
sikap politik bangsa di Eropa. Pada awal abad 20, paham nasionalisme berpuncak
pada Perang Dunia I dengan mewujudkan peta geo-politik Eropa sampai sekarang,
aliansi Jerman-Italia, pembebasan Yunani-Bulgaria-Serbia dari Turki serta
kemerdekaan di beberapa negara bagian Slavia dari imperialisme Austria, Turki,
Rusia dan Jerman. Pada permulaan abad ke 20, gelombang nasionalisme terasa di
wilayah dunia ketiga. Nasionalisme menjadi senjata moral ampuh untuk
melegitimasi perjuangan kemerdekaan.
Secara umum, peran nyata para generasi muda terdiri dari 5
gelombang nasionalisme di Indonesia, yang berulang hampir 20 tahun sekali yang
dapat kita lihat dari perjalanan sejarah nasional; sejak kebangkitan nasional 1908,
Sumpah Pemuda 1928, kemerdekaan 1945, bangkitnya orde baru 1966, dan bangkitnya
orde reformasi 1998. Kapan dan apa visi & misi pemuda dalam
nasionalisme pada masa sekarang dan yang akan datang?.
Generasi muda atau pemuda adalah penentu perjalanan bangsa
di masa berikutnya. Generasi muda mempunyai kelebihan dalam pemikiran ilmiah,
selain semangat mudanya, sifat kritisnya, kematangan logikanya dan
‘kebersihan’-nya dari noda orde masanya. Generasi muda adalah motor penggerak
utama perubahan. Generasi muda diakui perannya sebagai kekuatan pendobrak
kebekuan dan kejumudan masyarakat.
Nasionalisme merupakan sikap dan tingkah laku individu atau
masyarakat yang merujuk pada loyalitas dan pengabdian terhadap bangsa dan
negaranya. Namun, secara empiris, nasionalisme tidak sesederhana definisi itu.
Nasionalisme tidak seperti bangunan statis, tetapi selalu dialektis dan
interpretatif, sebab nasionalisme bukan pembawaan manusia sejak lahir,
melainkan sebagai hasil peradaban manusia dalam menjawab tantangan hidupnya.
Terbukti dalam sejarah Indonesia, kebangkitan rasa nasionalisme didaur ulang
kembali oleh para generasi muda, karena mereka merasa ada yang menyimpang dari
perjalanan nasionalisme bangsanya.
Sejumlah pakar menilai prinsip nasionalisme dalam diri generasi
muda Indonesia umumnya telah mengalami degradasi lantaran terus menerus
tergerus oleh nilai-nilai dari luar. Jika kondisi dilematis itu tetap
dibiarkan, bukan tidak mustahil degradasi nasionalisme akan mengancam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Degradasi nasionalisme dalam diri generasi
muda Indonesia muncul karena kegagalan dalam merevitalisasi dan mendefinisikan
pemahaman nasionalisme. Generasi muda Indonesia umumnya belum sadar akan
ancaman arus global yang terus menerus menggerogoti identitas bangsa.
Degradasi nasionalisme dalam diri generasi muda Indonesia
kondisinya semakin parah karena belum adanya pembaharuan atas pemahaman dan
prinsip nasionalisme dalam diri generasi muda. Kegagalan meredefinisi
nilai-nilai nasionalisme telah menyebabkan hingga kini belum lahir sosok
generasi muda Indonesia yang dapat menjadi teladan. Akibatnya peran orang tua
masih sangat mendominasi segala sektor kehidupan berbangsa dan bernegara.
Runtuhnya nasionalisme tidak terlepas dari ekspansi tanpa
henti dari pengaruh globalisasi. Saat ini, generasi muda Indonesia seperti
kehilangan akar yang kuat sebagai bagian daru elemen bangsa. “Westernisasi
terus menggerus nasionalisme, generasi muda lebih menikmati hiburan-hiburan
berbudaya barat seperti clubbing sebagai salah satu budaya hedonis daripada
berdiskusi mengenai nasionalisme. Perilaku kebarat-baratan itu sudah semakin
parah menjangkiti generasi muda, terutama di kota-kota besar. Tergerusnya akar
tradisi sebagai bangsa Indonesia akibat ekspansi globalisasi bisa menjadi
ancaman besar bagi eksistensi NKRI.
Sebelum membahas nasionalisme generasi muda kontemporer,
perlu dipaparkan terlebih dahulu peran generasi muda nasionalis dalam
perubahan-perubahan besar yang terjadi pada Bangsa Indonesia.
Pertama, Generasi muda Dalam Nasionalisme Gelombang Pertama:
Kebangkitan Nasional 1908. Gerakan kebangkitan nasionalisme Indonesia diawali
oleh Boedi Oetomo di tahun 1908, dengan dimotori oleh para mahasiswa kedokteran
Stovia, sekolah anak para priyayi Jawa, di sekolah yang disediakan Belanda di
Djakarta. Para mahasiswa kedokteran di Stovia, merasa muak dengan para
penjajah, --walaupun mereka sekolah di sekolah penjajah— dengan membuat
organisasi yang memberi pelayanan kesehatan kepada rakyat yang menderita.
Kedua, Generasi muda Dalam Nasionalisme Gelombang Kedua:
Soempah Pemoeda 1928. Setetah Perang Dunia I, filsafat nasionalisme abad
pertengahan, mulai merambat ke negara-negara jajahan melalui para mahasiswa
negara jajahan yang belajar ke negara penjajah. Filsafat nasionalisme itu
banyak mempengaruhi kalangan terpelajar Indonesia, misalnya, Soepomo ketika
merumuskan konsep negara integralistik banyak menyerap pemikiran Hegel. Bahkan,
Soepomo terang-terangan mengutip beberapa pemikiran Hegel tentang prinsip
persatuan antara pimpinan dan rakyat dan persatuan dalam negara seluruhnya.
Dalam perkembangannya kemudian banyak diciptakan lagu-lagu kebangsaan yang
sarat dengan muatan semangat nasionalisme seperti Indonesia Raya, Dari Sabang
Sampai Merauke, Padamu Negeri, dan sebagainya.
Selain Soepomo, Hatta, Sutan Syahrir pun sudah aktif
berdiskusi tentang masa depan negaranya, ketika mereka masih belajar di benua
Eropa, atas beasiswa politic-etis balas budi-nya penjajah Belanda. Mereka
inilah di masa pra & pascakemerdekaan yang nantinya banyak aktif
berkiprah menentukan arah biduk kapal Indonesia. Di dalam negeri, Soekarno
sejak remaja, masa mahasiswa, bahkan setelah lulus kuliah, terus aktif
menyuarakan tuntutan kemerdekaan bagi negerinya, lewat organisasi-organisasi
yang tumbuh di awal abad 20.
Kesadaran
untuk menyatukan negara, bangsa dan bahasa ke dalam 1 negara, bangsa dan bahasa
Indonesia, telah disadari oleh para generasi muda yang sudah mulai
terkotak-kotak dengan organisasi kedaerahan seperti Jong Java, Jong Celebes,
Jong Sumatera dan sebagainya, kemudian diwujudkan secara nyata dengan
menggelorakan Sumpah Pemoeda di tahun 1928.
Ketiga, Generasi muda Dalam Nasionalisme Gelombang Ketiga:
Kemerdekaan 1945
Pada nasionalisme gelombang ketiga ini, peran nyata para generasi muda yang menyandra Soekarno-Hatta ke Rengas-Dengklok agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dapat kita baca dari buku-buku sejarah.
Pada nasionalisme gelombang ketiga ini, peran nyata para generasi muda yang menyandra Soekarno-Hatta ke Rengas-Dengklok agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dapat kita baca dari buku-buku sejarah.
Keempat, Generasi muda Dalam Nasionalisme Gelombang Keempat:
Lahirnya Orde Baru 1966. Pada tahun 1966 terjadi pemberontakan G30S/PKI,
mahasiswa dan organisasi kepemudaan serta organisasi sosial kemasyarakatan di
tahun 1966 memiliki pengaruh yang besar dalam menjatuhkan rezim Orde Lama
dimana Soeharto dan para tentara tidak mungkin bisa ‘merebut’ kekuasaan dari
penguasa orde-lama Soekarno. Namun pada akhir tahun 1970-an para generasi muda
khsususnya mahasiswa dibatasi geraknya dalam berpolitik dan dikungkung ke dalam
ruang-ruang kuliah di kampus. Sebaliknya para tentara diguritakan ke dalam
tatatan masyarakat sipil lewat dwifungsi ABRI.
Kelima, Generasi muda Dalam Nasionalisme Gelombang Kelima:
Lahirnya Orde Reformasi 1998. Rezim Orba yang berkuasa selama 32 tahun berakhir
kekuasaanya akibat krisis ekonomi tahun 1997, yang kemudian ditindaklanjuti
oleh gerakan mahasiswa dalam meruntuhkan kekuasaan otoriter Orba. Gelombang
krisisi ekonomi yang melanda Asia Tenggara, dimanfaatkan dengan baik oleh para
mahasiswa dan generasi muda, yang sudah termarjinalkan oleh dwi fungsi ABRI.
Para generasi muda dan utamanya adalah mahasiswa berhasil menjatuhkan Soeharto
dari kursinya.
Pada orde reformasi sekarang ini, para generasi muda dan
mahasiwa perlu mempersiapkan diri sebaik-baiknya dalam membangkitkan kembali
nasionalisme gelombang berikutnya! Nasionalisme yang perlu diwujudkan di
gelombang berikutnya adalah bukan nasionalisme di gelombang-gelombang
sebelumnya. Kita harus memilih nasionalisme yang humanis dan dapat menjadi
rekan sejawat demokrasi. Tentu saja dalam konteks ini gagasan nasionalisme
gelombang berikutnya ini tidak dapat dibebankan pada pundak pejabat negara,
perwira militer, atau kalangan intelektual saja, tetapi juga perlu mendengar
dan merekam suara masyarakat akar rumput yang selama ini tidak tersuarakan.
Melihat persoalan tersebut, perlu adanya redefinisi atas
pemahaman dan pelaksanaan nilai-nilai nasionalisme dalam diri generasi muda
Indonesia. Tantangan generasi muda saat ini berbeda dengan era tahun pada
gelombang-gelombang momentum kepemudaaan sebelumnya. Jika dulu nasionalisme
generasi muda diarahkan untuk melawan penjajahan, kini nasionalisme diposisikan
secara proporsional dalam menyikapi kepentingan pasar yang diusung kepentingan
global, dan nasionalisme yang diusung untuk kepentingan negara.
Generasi muda
dituntut mencermati kondisi kekinian, kita tidak boleh antipati dengan pasar.
Namun generasi muda dituntut tetap nasionalis demi kepentingan bangsa.
Nasionalisme kebangsaan tidak terlepas dari situasi global. Generasi muda
Indonesia harus mencermati secara kritis realitas kepentingan global terhadap
Indonesia. Disamping itu, pemerintah pusat dapat mempercepat distribusi
pembangunan di semua daerah agar tidak tumbuh semangat etnonasionalisme dalam
diri generasi muda.
Degradasi nasionalisme dapat dijawab melalui strategi
kebudayaan dari pelbagai etnis dan suku sebagai landasan dalam melakukan
modernisasi ala Indonesia. Generasi muda di semua daerah dituntut agar tidak
mengedepankan kepentingan yang bersifat kedaerahan dengan begitu kesejahteraan
dapat diciptakan secara bersama-sama. Hal tersebut meruapakan adalah tugas dan
tanggung jawab generasi muda saat ini yaitu penciptaan kesejahteraan dan
keadilan yang diperjuangkan secara bersama-sama.
Sebagai penutup, tanda bahwa dalam upaya membangun Generasi
Muda yang Progresif, Agamis dan Nasionalis dikatakan berhasil dapat dilihat
dari indikator-indikator berikut, yaitu:
Meningkatnya partisipasi generasi muda dalam lembaga sosial kemasyarakatan dan organisasi kepemudaan;
Meningkatnya partisipasi generasi muda dalam lembaga sosial kemasyarakatan dan organisasi kepemudaan;
Terbentuknya peraturan perundang-undangan yang mengatur dan
menjamin kebebasan generasi muda untuk mengorganisasikan dirinya secara
bertanggungjawab, Meningkatnya jumlah wirausahawan muda, Meningkatnya jumlah
karya: kreasi, karsa, dan apresiasi generasi muda di berbagai bidang
pembangunan, Menurunnya jumlah kasus dan penyalahgunaan Narkoba oleh generasi
muda serta meningkatnya peran dan partisipasi generasi muda dalam pencegahan
dan penanggulangan Narkoba, Menurunnya angka kriminalitas yang dilakukan
generasi muda.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
Daftar
pustaka
Adams, Ian. 2004. Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam,
Kritik, dan Masa Depannya. Terjemahan: Ali Noerzaman. Yogyakarta: CV. Qalam.
Azra, Azyumardi, 2000. Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi
Buih. Bandung: Mizan.
Simon, Roger. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Jakarta: PT. Gramedia.
Simon, Roger. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Jakarta: PT. Gramedia.
Suseno, Franz Magnis. 1991. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis.
Yogyakarta: Kanisius.
Buku Penyempurnaan Pola Dasar Pembinaan Generasi Muda di Jawa Barat, 2005.
Buku Penyempurnaan Pola Dasar Pembinaan Generasi Muda di Jawa Barat, 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar