Rabu, 14 November 2012

IMM dan Peradaban Profetik



IMM dan Peradaban Profetik

Dalam narasi gerakan mahasiswa, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah telah mengisi ruang sejarah tersebut dengan corak yang khas, sebagai gerakan mahasiswa Islam yang berwatak tajdid-progresif. Namun, arah gerak perubahan tersebut, sepertinya masih berkutat pada watak gerakan yang belum mampu mentrasnformasi nilai-nilai yang fundamental yang bersumber dari  penafsiran nilai-nilai Islam yang kritis-iberatif.

Sejatinya, nilai sejarah pergerakan mahasiswa dikonstruksi berdasarkan pilar linkage-nya dengan ruang sejarah yang dilaluinya. Sehingga, ia lahir sebagai kreator bagi sebuah rekayasa peradaban dan tidak hanya mampu menorehkan sejarah tanpa orientasi (sekadar reaktif). Dalam hal ini, seharusnya ia mampu menjadi identitas yang bersinergi sekaligus menjadi pewarna bagi entitas lain dalam raung sejarah tersebut.

Dalam konstruksi peradaban tersebut, setidaknya kita memiliki sebuah postulat pemahaman mengenai arah peradaban yang dicita-citakan. Sebagai salah satu rujukan monumental, Rasulullah Saw. telah mewariskan sebuah konstruksi peradaban yang berbasis nilai Islam. Hal ini digambarkan oleh Robert N. Bellah dalam Beyond Belief, bahwa konstruksi peradaban yang dibangun oleh Rasulullah dalam model masyarakat madani di Madinah al-Munawwarah, merupakan model peradaban yang secara nilai dan praksis telah memanifestasikan nilai-nilai  keadilan, toleransi, terbuka, dan menjunjung tinggi nilai-nilai humanis. Hanya saja, konstruksi peradaban ini begitu maju melampaui batas sejarah, sehingga pasca Rasulullah, tidak tersedia sebuah modal sejarah yang mampu menopang arah rekayasa peradaban tersebut.

Sisi lain, juga terdapat beberapa gambaran alternatif menganai konstruksi peradaban. Konsep civil society, merupakan sebuah model masyarakat yang berdaulat, dengan kesadaran akan hak-hak dan kewajibannya. Peradaban (civilization) menurut Raymond Williams adalah suatu kondisi sosial-masyarakat organik, yang berbeda dengan model masyarakat yang mekanik (Samuel P. Huntington, The Clash Of Civilization, 1996). Peradaban  ini, memiliki konsentrasi pada : Pertama, eksistensi  tunggal dan plural yang menyatu dan saling menyapa dalam bingkai harmoni. Kedua, Kultur, yang selalu menorehkan spirit kemanusiaan yang terimplementasi dalam kebudayaan yang terbuka dan penuh toleransi. Gambaran ini sejalan dengan konsep Masyarakat Madani yang dipopulerkan oleh mantan Wakil Perdana Menteri  Malaysia DR. Anwar Ibrahim.

Gambaran arah konstruksi peradaban tersebut, umumnya mengandung nilai-nilai yang ideal, serta meniscayakan suatu perubahan yang terus menerus secara progresif (transformasi).  Hanya saja, dalam rekaman sejarah model-model perubahan itu, selalau menampakan wajah yang pro-establishment, kontra- establishment, konstruksi dan dekonstruksi. Huntington, memaparkan model-model perubahan dalam transisi demokrasi menuju demokrasi di Amerika Latin dalam model transplacement, replacement, dan transformation. (The Waves Of  Democratization, 1997). Atau dalam kajian ilmu sosial perubahan itu memiliki paradigma: evolusi, revolusi dan transformasi.

Tahapan-tahapan perubahan tersebut, hendaknya medapatkan kajian yang kritis dan mendalam terutama dalam memandang dunia Islam. Dalam Islam, perubahan itu, sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh pandangan teologis. Hal  ini tergambar dalam fakta empiris masyarakat Islam, yang mengalami pasang-surut sejarah.

Kontowijoyo, dalam tesis monumentalnya, mengurai teori Tiga Tahap Augus Comte dalam tahapan kesadaran keagamaan umat Islam, yaitu Mitos, Ideologi, dan Ilmu. Elaborasi gagasan ini sangat tepat dalam menggambarkan terhadap model perubahan masyarakat Islam, terutama dalam konteks masyarakat Indonesia. Gagasan ini hendaknya merefleksi umat Islam dalam menangkap pesan sejarah perubahan, sehingga kita tidak hanya mampu mengisi sejarah, namun mampu memainkan dan membuat sejarah dengan penuh kesadaran. Fase ini, merupakan kunci utama dalam tahapan konstruksi peradaban Islam, yang menurut Kontowijoyo sebagai Peradaban Profetik, dimana agama telah menyatu dalam kehidupan manusia.

Dalam gagasan perubahan ini, yang menjadi kunci utama adalah lahirnya aktor, sebagai agent perubahan. Salah satu aktor penting dalam sejarah perubahan adalah generasi muda sebagai tulang punggung perubahan. Mahasiswa sebagai bagian dari generasi muda tersebut, hendaknya tidak kehilangan spirit perubahan dalam memandang sejarah yang dialektis-historis.

IMM sebagai organisasi mahasiswa Islam, memiliki tanggung jawab sosial yang besar dalam memainkan arah rekayasa perubahan, menuju bangunanan peradaban progresif. Diusianya yang ke-41 tahun, IMM memiliki tanggungjawab sejarah yang besar dalam melahirkan aktor-aktor kritis-progresif, ditengah keterpurukan bangsa Indonesia yang mengalami krisis multi-dimensional.

Lahirnya kader-kader progresif tersebut, merupakan keniscayaan dalam membangun peradaban baru bagi bangsa Indoneisa, sebab bukan hanya akan menghadapai tantangan dari luar, berupa neo-liberalisme yang merupakan bagian dari neo-imferialisme, tetapi juga para penguasa yang dhalim, yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Michael Porter (Ekonom AS) mengatakan bahwa bangkitnya suatu bangsa membutuhkan modal sosial, berupa kesadaran masyarakat dalam membangun bangsanya.

Membangun kesadaran masyarakat, khususnya dalam konteks ke-Indonesiaan bukanlah sebuah pekerjaan mudah. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat dengan penyakit amnesia politik, warga bangsa ini sangat mudah melupakan peristiwa masa lalu ataupun dosa masa lalu sehingga kesalahan dalam memilih pemimpin ataupun untuk menciptakan sebuah tata sosial kehidupan yang beradab tidak terwujud hingga saat ini. Maka peranan organisasi sosial yang berbasis kaum intelektual seperti IMM sangatlah penting untuk mengkonstruk masa depan umat dan bangsa tercinta. 

Trilogi gerakan, intelektualitas, humanitas, dan spiritualitas Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) merupakan penegasan identitas gerakannya sebagai lokomotif dakwah yang modernis. IMM tidak saja lahir sebagai jawaban gerakan mahasiswa yang reaktif bahkan pragmatis, juga sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar Persyarikatan Muhammadiyah bagi kalangan akademisi.

Berangkat dari culture gerakan intelektual sebagai fondasi gerakan mahasiswa baik sebagai gerakan pemikiran maupun aksi sosial, maka IMM mengusung ide pencerahan intelektual sebagai langkah awal untuk pencerahan peradaban. Ide pencerahan peradaban lahir sebagai jawaban akan keresahan masyarakat dunia terhadap hegemoni peradaban barat yang kapitalistik-materialistik yang secara nyata menjerumuskan manusia-manusia modern hari ini menjadi teraleniasi dari nilai-nilai sejatinya sebagai manusia. Masyarakat menjadi pragmatis dan melupakan eksistensinya sebagai Khalifatun Fill Arr, untuk memakmurkan bumi dan seluruh penghuninya. Upaya membangun culture intelektual telah dilakukan oleh IMM sejak awal kelahirannya 14 tahun yang silam, yang sendirinya mempertegas identitas gerakan IMM sebagai gerakan intelektual dan spiritual.     

Culture intelektual yang dibangun oleh IMM dalam berbagai dimensi, menjadi upaya untuk membentuk insan-insan akademisi yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual an sich tetapi juga bangunan aqidah yang kokoh sehingga gerakan yang dibangun, baik itu gerakan pemikiran maupun aksi sosial tidak akan tercerabut dari aqidah Islam sebagai ideologi gerakannya. Aktivis Islam modern hari ini, harus kembali mengkaji lebih dalam dan mengelaborasi khazanah intelektual pemikir-pemikir Islam masa lalu yang telah lama ditinggalkan oleh umat Islam, sambil melakukan kajian etis-kritis terhadap pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh para intelektual barat sebagai bagian untuk membangun culture intelektual.
Culture intelektual diarahkan pada upaya menumbuhkan nilai-nilai intelektual mahasiswa dan kader, melahirkan metode gerakan yang lebih sistematis, terencana, dan sustainable sebagai gerakan perubahan sosial ditengah-tengah masyarakat. Selain itu culture intelektual akan melahirkan sebuah ciri khas gerakan mahasiswa khususnya IMM sebagai gerakan intelektual-spiritual atau intelektual profetik yang senantiasa dinamis untuk menjawab berbagai persoalan, baik itu ditingkat lokal, nasional bahkan internasional.

Aktivis yang memiliki intelektualitas dan spiritualitas sekaligus tentu adalah prototipe aktivis IMM yang sesungguhnya, yakni aktivis yang memiliki wawasan intelektual dan ketajaman analisis yang dibangun diatas fondasi aqidah Islam yang kokoh menjadikan IMM sebagai gerakan mahasiswa yang hampir sempurna untuk meneruskan perjuangan rasulullah yang telah berhasil menciptakan rumah peradaban yang menetramkan tidak saja bagi umat Islam tetapi bagi seluruh masyarakat yang ada pada masanya.

Maka intelektualitas tidak hanya menjadi simbol gerakan tetapi ia harus menjadi kebiasaan, bagian dari hidup keseharian para aktivitis IMM khususnya, ia harus terinternalisasi dan terkristalisasi serta menjadi identitas gerakan yang senantiasa terus digelindingkan untuk menjawab berbagai persoalan kebangsaan. Ketika intelektualitas telah menjadi gerakan itu sendiri maka itulah saat yang tepat dimana gerakan IMM hadir sebagai gerakan yang mencerahkan peradaban dan seluruh penghuni bumi termasuk didalamnya aktivis IMM dan Muhammadiyah sebagai payung pencerahan itu sendiri. Generasi IMM masa awal telah memulai, maka mari kita generasi IMM hari ini untuk secara bersama-sama mengambil peran untuk mencerahkan diri dan masyarakat untuk lahirnya peradaban yang membawa kesejahteraan bagi seluruh umat manusia yang diatas muka bumi.


Membumikan Intelektualitas

Dalam narasi gerakan mahasiswa, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah telah mengisi ruang sejarah tersebut dengan corak yang khas, sebagai gerakan mahasiswa Islam yang berwatak tajdid-progresif. Namun, arah gerak perubahan tersebut, sepertinya masih berkutat pada watak gerakan yang belum mampu mentrasnformasi nilai-nilai yang fundamental yang bersumber dari  penafsiran nilai-nilai Islam yang kritis-iberatif.

Sejatinya, nilai sejarah pergerakan mahasiswa dikonstruksi berdasarkan pilar linkage-nya dengan ruang sejarah yang dilaluinya. Sehingga, ia lahir sebagai kreator bagi sebuah rekayasa peradaban dan tidak hanya mampu menorehkan sejarah tanpa orientasi (sekadar reaktif). Dalam hal ini, seharusnya ia mampu menjadi identitas yang bersinergi sekaligus menjadi pewarna bagi entitas lain dalam raung sejarah tersebut. Dalam konstruksi peradaban tersebut, setidaknya kita memiliki sebuah postulat pemahaman mengenai arah peradaban yang dicita-citakan. Sebagai salah satu rujukan monumental, Rasulullah Saw. telah mewariskan sebuah konstruksi peradaban yang berbasis nilai Islam. Hal ini digambarkan oleh Robert N. Bellah dalam Beyond Belief, bahwa konstruksi peradaban yang dibangun oleh Rasulullah dalam model masyarakat madani di Madinah al-Munawwarah, merupakan model peradaban yang secara nilai dan praksis telah memanifestasikan nilai-nilai  keadilan, toleransi, terbuka, dan menjunjung tinggi nilai-nilai humanis. Hanya saja, konstruksi peradaban ini begitu maju melampaui batas sejarah, sehingga pasca Rasulullah, tidak tersedia sebuah modal sejarah yang mampu menopang arah rekayasa peradaban tersebut.

Sisi lain, juga terdapat beberapa gambaran alternatif menganai konstruksi peradaban. Konsep civil society, merupakan sebuah model masyarakat yang berdaulat, dengan kesadaran akan hak-hak dan kewajibannya. Peradaban (civilization) menurut Raymond Williams adalah suatu kondisi sosial-masyarakat organik, yang berbeda dengan model masyarakat yang mekanik (Samuel P. Huntington, The Clash Of Civilization, 1996). Peradaban  ini, memiliki konsentrasi pada : Pertama, eksistensi  tunggal dan plural yang menyatu dan saling menyapa dalam bingkai harmoni. Kedua, Kultur, yang selalu menorehkan spirit kemanusiaan yang terimplementasi dalam kebudayaan yang terbuka dan penuh toleransi. Gambaran ini sejalan dengan konsep Masyarakat Madani yang dipopulerkan oleh mantan Wakil Perdana Menteri  Malaysia DR. Anwar Ibrahim.

Gambaran arah konstruksi peradaban tersebut, umumnya mengandung nilai-nilai yang ideal, serta meniscayakan suatu perubahan yang terus menerus secara progresif (transformasi).  Hanya saja, dalam rekaman sejarah model-model perubahan itu, selalau menampakan wajah yang pro-establishment, kontra- establishment, konstruksi dan dekonstruksi. Huntington, memaparkan model-model perubahan dalam transisi demokrasi menuju demokrasi di Amerika Latin dalam model transplacement, replacement, dan transformation. (The Waves Of  Democratization, 1997). Atau dalam kajian ilmu sosial perubahan itu memiliki paradigma: evolusi, revolusi dan transformasi. Tahapan-tahapan perubahan tersebut, hendaknya medapatkan kajian yang kritis dan mendalam terutama dalam memandang dunia Islam. Dalam Islam, perubahan itu, sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh pandangan teologis. Hal  ini tergambar dalam fakta empiris masyarakat Islam, yang mengalami pasang-surut sejarah.

Kontowijoyo, dalam tesis monumentalnya, mengurai teori Tiga Tahap Augus Comte dalam tahapan kesadaran keagamaan umat Islam, yaitu Mitos, Ideologi, dan Ilmu. Elaborasi gagasan ini sangat tepat dalam menggambarkan terhadap model perubahan masyarakat Islam, terutama dalam konteks masyarakat Indonesia. Gagasan ini hendaknya merefleksi umat Islam dalam menangkap pesan sejarah perubahan, sehingga kita tidak hanya mampu mengisi sejarah, namun mampu memainkan dan membuat sejarah dengan penuh kesadaran. Fase ini, merupakan kunci utama dalam tahapan konstruksi peradaban Islam, yang menurut Kontowijoyo sebagai Peradaban Profetik, dimana agama telah menyatu dalam kehidupan manusia.

Dalam gagasan perubahan ini, yang menjadi kunci utama adalah lahirnya aktor, sebagai agent perubahan. Salah satu aktor penting dalam sejarah perubahan adalah generasi muda sebagai tulang punggung perubahan. Mahasiswa sebagai bagian dari generasi muda tersebut, hendaknya tidak kehilangan spirit perubahan dalam memandang sejarah yang dialektis-historis. IMM sebagai organisasi mahasiswa Islam, memiliki tanggung jawab sosial yang besar dalam memainkan arah rekayasa perubahan, menuju bangunanan peradaban progresif. Diusianya yang ke-43 tahun, IMM memiliki tanggungjawab sejarah yang besar dalam melahirkan aktor-aktor kritis-progresif, ditengah keterpurukan bangsa Indonesia yang mengalami krisis multi-dimensional. Lahirnya kader-kader progresif tersebut, merupakan keniscayaan dalam membangun peradaban baru bagi bangsa Indonesia, sebab bukan hanya akan menghadapai tantangan dari luar, berupa neo-liberalisme yang merupakan bagian dari neo-imferialisme, tetapi juga para penguasa yang dhalim, yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Michael Porter (Ekonom AS) mengatakan bahwa bangkitnya suatu bangsa membutuhkan modal sosial, berupa kesadaran masyarakat dalam membangun bangsanya.

Membangun kesadaran masyarakat, khususnya dalam konteks ke-Indonesiaan bukanlah sebuah pekerjaan mudah. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat dengan penyakit amnesia politik, warga bangsa ini sangat mudah melupakan peristiwa masa lalu ataupun dosa masa lalu sehingga kesalahan dalam memilih pemimpin ataupun untuk menciptakan sebuah tata sosial kehidupan yang beradab tidak terwujud hingga saat ini. Maka peranan organisasi sosial yang berbasis kaum intelektual seperti IMM sangatlah penting untuk mengkonstruk masa depan umat dan bangsa tercinta.  Upaya membangun kesadaran ini haruslah dikonstruk secara cerdas dan kreatif lewat berbagai model pendekatan dengan melakukan maksimalisasi potensi mahasiswa. Pendekatan dengan memanfaatkan instrumen budaya seperti teater, wayang, tarian, dongeng, dan sebagainya yang sangat dekat dengan kehidupan sebagian warga bangsa Indonesia. Pendekatan ilmiah lewat tulisan, diskusi, seminar, dan lain-lain cukup harus semakin digiatkan untuk membangun keasadaran masyarakat (community awareness).  

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sebagai bagian dari komponen bangsa dengan trilogi gerakan, intelektualitas, humanitas, dan spiritualitas merupakan penegasan identitas gerakannya sebagai lokomotif dakwah yang modernis. IMM tidak saja lahir sebagai jawaban gerakan mahasiswa yang reaktif bahkan pragmatis, juga sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar Persyarikatan Muhammadiyah bagi kalangan akademisi. Berangkat dari culture gerakan intelektual sebagai fondasi gerakan mahasiswa baik sebagai gerakan pemikiran maupun aksi sosial, maka IMM mengusung ide pencerahan intelektual sebagai langkah awal untuk pencerahan peradaban. Ide pencerahan peradaban lahir sebagai jawaban akan keresahan masyarakat dunia terhadap hegemoni peradaban barat yang kapitalistik-materialistik yang secara nyata menjerumuskan manusia-manusia modern hari ini menjadi teraleniasi dari nilai-nilai sejatinya sebagai manusia. Masyarakat menjadi pragmatis dan melupakan eksistensinya sebagai Khalifatun Fill Arr, untuk memakmurkan bumi dan seluruh penghuninya. Upaya membangun culture intelektual telah dilakukan oleh IMM sejak awal kelahirannya 14 tahun yang silam, yang sendirinya mempertegas identitas gerakan IMM sebagai gerakan intelektual dan spiritual.     

Culture intelektual yang dibangun oleh IMM dalam berbagai dimensi, menjadi upaya untuk membentuk insan-insan akademisi yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual an sich tetapi juga bangunan aqidah yang kokoh sehingga gerakan yang dibangun, mulai dari gerakan pemikiran untuk memproduksi ide dan gagasan sampai kepada aksi sosial sebagai bentuk pembumian ide dan gagasan tadi tidak akan tercerabut dari aqidah Islam sebagai ideologi gerakannya yang geniune dan universal. Aktivis Islam modern hari ini, harus kembali mengkaji lebih dalam dan mengelaborasi khazanah intelektual pemikir-pemikir Islam masa lalu yang telah lama ditinggalkan oleh umat Islam, sambil melakukan kajian etis-kritis terhadap pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh para intelektual barat sebagai bagian untuk membangun culture intelektual. Culture intelektual diarahkan pada upaya menumbuhkan nilai-nilai intelektual mahasiswa dan kader, melahirkan ide, gagasan yang transformatif dan menggerakkan sekaligus melahirkan metode gerakan yang lebih sistematis, terencana, dan sustainable sebagai gerakan perubahan sosial ditengah-tengah masyarakat. Selain itu culture intelektual akan melahirkan sebuah ciri khas gerakan mahasiswa khususnya IMM sebagai gerakan intelektual-spiritual atau intelektual profetik yang senantiasa dinamis untuk menjawab berbagai persoalan, baik itu ditingkat lokal, nasional bahkan internasional.

Aktivis yang memiliki intelektualitas dan spiritualitas sekaligus tentu adalah prototipe aktivis IMM yang sesungguhnya, yakni aktivis yang memiliki wawasan intelektual dan ketajaman analisis dan dibangun diatas fondasi aqidah Islam yang kokoh menjadikan IMM sebagai gerakan mahasiswa yang hampir sempurna untuk meneruskan perjuangan rasulullah yang telah berhasil menciptakan rumah peradaban yang menetramkan tidak saja bagi umat Islam tetapi bagi seluruh masyarakat yang ada pada masanya. Penting untuk kita garis bawahi sesungguhnya intelektual bukanlah sosok yang sekedar bergulat dengan wacana an sich tapi lebih dari itu, ia mampu untuk terlibat dalam proses pemberdayaan dan penyadaran masyarakat sekaligus untuk menghadirkan wajah perubahan ditengah-tengah kehidupan umat dan bangsa. Sejalan dengan itu wilayah tugas intelektual menurut Gramsci bukan sekedar diatas kertas atau sekedar mentransformasikan ide dan gagasan di ruang kuliah. Intelektual harus memerankan diri sebagai mediator, legitimator, serta memproduksi gagasan sekaligus dibumikan. (Fajar Riza Ul Haq, 2007)

Ketika kita menempatkan intelektual hanya sebatas pengetahuan semata, maka yang ada adalah kekeliruan yang akan menjerumuskan seseorang untuk berpihak kepada apa yang kuat dan bukan kepada apa yang benar atau disebut oleh Boni Hargens sebagai intelektual tukang yang setiap analisisnya ditentukan kepentingan kekuasaan dan ditakar dengan uang dengan kata lain mereka bekerja untuk kepentingan politik-kekuasaan. Intelektual yang benar-benar intelektual sejati adalah mereka yang bekerja untuk kepentingan ilmu pengetahun, kebenaran, kebaikan bersama (bonum commune) atas landasan ilmu dan moralitas. Senada dengan itu menurut Sarumpaet (2005) keberadaan dan perananan kaum intelektual menjadi penting lantaran langkahnya punya dasar berpijak yang di dalamnya menyimpan gagasan untuk perbaikan menghadapi masa depan. Maka, di mana pun di dunia ini, kaum intelektual kerap bertindak sebagai pioner, perintis, dan pemberi pencerahan atas kehidupan manusia.”

kerja intelektual oleh Syafii M’arif adalah kerja seumur hidup, itu pun tidak akan pernah tuntas dan memuaskan. Ada saja yang kurang, ada saja yang tidak genap. Yang pasti kerja intelektual memerlukan kesabaran dosis tinggi untuk terus berfikir dan berfikir terus dengan stamina spiritual yang prima. Maka intelektualitas tidak hanya menjadi simbol gerakan tetapi ia harus menjadi kebiasaan, bagian dari hidup keseharian para aktivitis IMM khususnya, ia harus terinternalisasi dan terkristalisasi serta menjadi identitas gerakan yang senantiasa terus digelindingkan untuk menjawab berbagai persoalan kebangsaan. Ketika intelektualitas telah menjadi gerakan itu sendiri maka itulah saat yang tepat dimana gerakan IMM hadir sebagai gerakan yang mencerahkan peradaban dan seluruh penghuni bumi termasuk didalamnya aktivis IMM dan Muhammadiyah sebagai payung pencerahan itu sendiri. Generasi IMM masa awal telah memulai, maka mari kita generasi IMM hari ini untuk secara bersama-sama mengambil peran untuk mencerahkan diri dan masyarakat untuk lahirnya peradaban yang membawa kesejahteraan bagi seluruh umat manusia yang diatas muka bumi. Lebih dari itu yang mestinya dilakukan oleh kalangan intelektual khususnya kader-kader IMM adalah membangun suatu diskursus yang mampu mendorong terbangunnya historical bloc (kekuatan perlawanan bersama) dan gerakan sosial baru (new social movement) bagi tiap-tiap warganegara Indonesia, khususnya dalam kampus sebaga basis gerakan intelektual.

*pemerhati sosial & budaya
  aktivis IMM Sulsel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar