IMM
dan Peradaban Profetik
Dalam narasi
gerakan mahasiswa, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah telah mengisi ruang sejarah
tersebut dengan corak yang khas, sebagai gerakan mahasiswa Islam yang berwatak
tajdid-progresif. Namun, arah gerak perubahan tersebut, sepertinya masih
berkutat pada watak gerakan yang belum mampu mentrasnformasi nilai-nilai yang
fundamental yang bersumber dari penafsiran nilai-nilai Islam yang
kritis-iberatif.
Sejatinya,
nilai sejarah pergerakan mahasiswa dikonstruksi berdasarkan pilar linkage-nya
dengan ruang sejarah yang dilaluinya. Sehingga, ia lahir sebagai kreator bagi
sebuah rekayasa peradaban dan tidak hanya mampu menorehkan sejarah tanpa
orientasi (sekadar reaktif). Dalam hal ini, seharusnya ia mampu menjadi
identitas yang bersinergi sekaligus menjadi pewarna bagi entitas lain dalam
raung sejarah tersebut.
Dalam
konstruksi peradaban tersebut, setidaknya kita memiliki sebuah postulat
pemahaman mengenai arah peradaban yang dicita-citakan. Sebagai salah satu
rujukan monumental, Rasulullah Saw. telah mewariskan sebuah konstruksi
peradaban yang berbasis nilai Islam. Hal ini digambarkan oleh Robert N. Bellah
dalam Beyond Belief, bahwa konstruksi peradaban yang dibangun oleh
Rasulullah dalam model masyarakat madani di Madinah al-Munawwarah, merupakan
model peradaban yang secara nilai dan praksis telah memanifestasikan
nilai-nilai keadilan, toleransi, terbuka, dan menjunjung tinggi
nilai-nilai humanis. Hanya saja, konstruksi peradaban ini begitu maju melampaui
batas sejarah, sehingga pasca Rasulullah, tidak tersedia sebuah modal sejarah
yang mampu menopang arah rekayasa peradaban tersebut.
Sisi lain, juga
terdapat beberapa gambaran alternatif menganai konstruksi peradaban. Konsep civil
society, merupakan sebuah model masyarakat yang berdaulat, dengan kesadaran
akan hak-hak dan kewajibannya. Peradaban (civilization) menurut Raymond
Williams adalah suatu kondisi sosial-masyarakat organik, yang berbeda dengan
model masyarakat yang mekanik (Samuel P. Huntington, The Clash Of
Civilization, 1996). Peradaban ini, memiliki konsentrasi pada : Pertama,
eksistensi tunggal dan plural yang menyatu dan saling menyapa dalam
bingkai harmoni. Kedua, Kultur, yang selalu menorehkan spirit
kemanusiaan yang terimplementasi dalam kebudayaan yang terbuka dan penuh
toleransi. Gambaran ini sejalan dengan konsep Masyarakat Madani yang
dipopulerkan oleh mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia DR. Anwar
Ibrahim.
Gambaran arah
konstruksi peradaban tersebut, umumnya mengandung nilai-nilai yang ideal, serta
meniscayakan suatu perubahan yang terus menerus secara progresif
(transformasi). Hanya saja, dalam rekaman sejarah model-model perubahan
itu, selalau menampakan wajah yang pro-establishment, kontra- establishment,
konstruksi dan dekonstruksi. Huntington, memaparkan model-model perubahan dalam
transisi demokrasi menuju demokrasi di Amerika Latin dalam model transplacement,
replacement, dan transformation. (The Waves Of Democratization,
1997). Atau dalam kajian ilmu sosial perubahan itu memiliki paradigma:
evolusi, revolusi dan transformasi.
Tahapan-tahapan
perubahan tersebut, hendaknya medapatkan kajian yang kritis dan mendalam
terutama dalam memandang dunia Islam. Dalam Islam, perubahan itu, sesungguhnya
sangat dipengaruhi oleh pandangan teologis. Hal ini tergambar dalam fakta
empiris masyarakat Islam, yang mengalami pasang-surut sejarah.
Kontowijoyo,
dalam tesis monumentalnya, mengurai teori Tiga Tahap Augus Comte dalam tahapan
kesadaran keagamaan umat Islam, yaitu Mitos, Ideologi, dan Ilmu. Elaborasi
gagasan ini sangat tepat dalam menggambarkan terhadap model perubahan
masyarakat Islam, terutama dalam konteks masyarakat Indonesia. Gagasan ini
hendaknya merefleksi umat Islam dalam menangkap pesan sejarah perubahan,
sehingga kita tidak hanya mampu mengisi sejarah, namun mampu memainkan dan membuat
sejarah dengan penuh kesadaran. Fase ini, merupakan kunci utama dalam tahapan
konstruksi peradaban Islam, yang menurut Kontowijoyo sebagai Peradaban
Profetik, dimana agama telah menyatu dalam kehidupan manusia.
Dalam gagasan
perubahan ini, yang menjadi kunci utama adalah lahirnya aktor, sebagai agent
perubahan. Salah satu aktor penting dalam sejarah perubahan adalah generasi
muda sebagai tulang punggung perubahan. Mahasiswa sebagai bagian dari generasi
muda tersebut, hendaknya tidak kehilangan spirit perubahan dalam memandang
sejarah yang dialektis-historis.
IMM sebagai
organisasi mahasiswa Islam, memiliki tanggung jawab sosial yang besar dalam
memainkan arah rekayasa perubahan, menuju bangunanan peradaban progresif.
Diusianya yang ke-41 tahun, IMM memiliki tanggungjawab sejarah yang besar dalam
melahirkan aktor-aktor kritis-progresif, ditengah keterpurukan bangsa Indonesia
yang mengalami krisis multi-dimensional.
Lahirnya
kader-kader progresif tersebut, merupakan keniscayaan dalam membangun peradaban
baru bagi bangsa Indoneisa, sebab bukan hanya akan menghadapai tantangan dari
luar, berupa neo-liberalisme yang merupakan bagian dari neo-imferialisme,
tetapi juga para penguasa yang dhalim, yang tidak berpihak pada rakyat kecil.
Michael Porter (Ekonom AS) mengatakan bahwa bangkitnya suatu bangsa membutuhkan
modal sosial, berupa kesadaran masyarakat dalam membangun bangsanya.
Membangun kesadaran masyarakat, khususnya dalam konteks ke-Indonesiaan
bukanlah sebuah pekerjaan mudah. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat dengan
penyakit amnesia politik, warga bangsa ini sangat mudah melupakan peristiwa
masa lalu ataupun dosa masa lalu sehingga kesalahan dalam memilih pemimpin
ataupun untuk menciptakan sebuah tata sosial kehidupan yang beradab tidak
terwujud hingga saat ini. Maka peranan organisasi sosial yang berbasis kaum
intelektual seperti IMM sangatlah penting untuk mengkonstruk masa depan umat
dan bangsa tercinta.
Trilogi gerakan, intelektualitas, humanitas, dan spiritualitas Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) merupakan penegasan identitas gerakannya sebagai
lokomotif dakwah yang modernis. IMM tidak saja lahir sebagai jawaban gerakan
mahasiswa yang reaktif bahkan pragmatis, juga sebagai gerakan dakwah amar
ma’ruf nahi munkar Persyarikatan Muhammadiyah bagi kalangan akademisi.
Berangkat dari culture gerakan intelektual sebagai fondasi gerakan
mahasiswa baik sebagai gerakan pemikiran maupun aksi sosial, maka IMM mengusung
ide pencerahan intelektual sebagai langkah awal untuk pencerahan peradaban. Ide
pencerahan peradaban lahir sebagai jawaban akan keresahan masyarakat dunia
terhadap hegemoni peradaban barat yang kapitalistik-materialistik yang secara
nyata menjerumuskan manusia-manusia modern hari ini menjadi teraleniasi dari
nilai-nilai sejatinya sebagai manusia. Masyarakat menjadi pragmatis dan
melupakan eksistensinya sebagai Khalifatun Fill Arr, untuk memakmurkan bumi dan
seluruh penghuninya. Upaya membangun culture intelektual telah dilakukan oleh
IMM sejak awal kelahirannya 14 tahun yang silam, yang sendirinya mempertegas identitas
gerakan IMM sebagai gerakan intelektual dan
spiritual.
Culture intelektual yang dibangun oleh IMM dalam berbagai dimensi, menjadi
upaya untuk membentuk insan-insan akademisi yang tidak hanya memiliki
kecerdasan intelektual an sich tetapi juga bangunan aqidah yang kokoh
sehingga gerakan yang dibangun, baik itu gerakan pemikiran maupun aksi sosial
tidak akan tercerabut dari aqidah Islam sebagai ideologi gerakannya. Aktivis
Islam modern hari ini, harus kembali mengkaji lebih dalam dan mengelaborasi
khazanah intelektual pemikir-pemikir Islam masa lalu yang telah lama
ditinggalkan oleh umat Islam, sambil melakukan kajian etis-kritis
terhadap pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh para intelektual barat
sebagai bagian untuk membangun culture intelektual.
Culture intelektual diarahkan pada upaya menumbuhkan nilai-nilai
intelektual mahasiswa dan kader, melahirkan metode gerakan yang lebih
sistematis, terencana, dan sustainable sebagai gerakan perubahan sosial
ditengah-tengah masyarakat. Selain itu culture intelektual akan melahirkan
sebuah ciri khas gerakan mahasiswa khususnya IMM sebagai gerakan
intelektual-spiritual atau intelektual profetik yang senantiasa dinamis untuk
menjawab berbagai persoalan, baik itu ditingkat lokal, nasional bahkan internasional.
Aktivis yang memiliki intelektualitas dan spiritualitas sekaligus tentu
adalah prototipe aktivis IMM yang sesungguhnya, yakni aktivis yang
memiliki wawasan intelektual dan ketajaman analisis yang dibangun diatas fondasi aqidah Islam yang kokoh menjadikan
IMM sebagai gerakan mahasiswa yang hampir sempurna untuk meneruskan perjuangan
rasulullah yang telah berhasil menciptakan rumah peradaban yang menetramkan
tidak saja bagi umat Islam tetapi bagi seluruh masyarakat yang ada pada
masanya.
Maka intelektualitas tidak hanya menjadi simbol gerakan tetapi ia harus
menjadi kebiasaan, bagian dari hidup keseharian para aktivitis IMM khususnya,
ia harus terinternalisasi dan terkristalisasi serta menjadi identitas
gerakan yang senantiasa terus digelindingkan untuk menjawab berbagai persoalan
kebangsaan. Ketika intelektualitas telah menjadi gerakan itu sendiri maka
itulah saat yang tepat dimana gerakan IMM hadir sebagai gerakan yang
mencerahkan peradaban dan seluruh penghuni bumi termasuk didalamnya aktivis IMM
dan Muhammadiyah sebagai payung pencerahan itu sendiri. Generasi IMM masa awal
telah memulai, maka mari kita generasi IMM hari ini untuk secara bersama-sama
mengambil peran untuk mencerahkan diri dan masyarakat untuk lahirnya peradaban
yang membawa kesejahteraan bagi seluruh umat manusia yang diatas muka bumi.
Membumikan Intelektualitas
Dalam narasi
gerakan mahasiswa, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah telah mengisi ruang sejarah
tersebut dengan corak yang khas, sebagai gerakan mahasiswa Islam yang berwatak
tajdid-progresif. Namun, arah gerak perubahan tersebut, sepertinya masih
berkutat pada watak gerakan yang belum mampu mentrasnformasi nilai-nilai yang
fundamental yang bersumber dari penafsiran nilai-nilai Islam yang
kritis-iberatif.
Sejatinya,
nilai sejarah pergerakan mahasiswa dikonstruksi berdasarkan pilar linkage-nya
dengan ruang sejarah yang dilaluinya. Sehingga, ia lahir sebagai kreator bagi
sebuah rekayasa peradaban dan tidak hanya mampu menorehkan sejarah tanpa
orientasi (sekadar reaktif). Dalam hal ini, seharusnya ia mampu menjadi
identitas yang bersinergi sekaligus menjadi pewarna bagi entitas lain dalam
raung sejarah tersebut. Dalam konstruksi peradaban tersebut, setidaknya kita
memiliki sebuah postulat pemahaman mengenai arah peradaban yang dicita-citakan.
Sebagai salah satu rujukan monumental, Rasulullah Saw. telah mewariskan sebuah
konstruksi peradaban yang berbasis nilai Islam. Hal ini digambarkan oleh Robert
N. Bellah dalam Beyond Belief, bahwa konstruksi peradaban yang dibangun
oleh Rasulullah dalam model masyarakat madani di Madinah al-Munawwarah,
merupakan model peradaban yang secara nilai dan praksis telah memanifestasikan
nilai-nilai keadilan, toleransi, terbuka, dan menjunjung tinggi
nilai-nilai humanis. Hanya saja, konstruksi peradaban ini begitu maju melampaui
batas sejarah, sehingga pasca Rasulullah, tidak tersedia sebuah modal sejarah
yang mampu menopang arah rekayasa peradaban tersebut.
Sisi lain, juga
terdapat beberapa gambaran alternatif menganai konstruksi peradaban. Konsep civil
society, merupakan sebuah model masyarakat yang berdaulat, dengan kesadaran
akan hak-hak dan kewajibannya. Peradaban (civilization) menurut Raymond
Williams adalah suatu kondisi sosial-masyarakat organik, yang berbeda dengan
model masyarakat yang mekanik (Samuel P. Huntington, The Clash Of
Civilization, 1996). Peradaban ini, memiliki konsentrasi pada : Pertama,
eksistensi tunggal dan plural yang menyatu dan saling menyapa dalam
bingkai harmoni. Kedua, Kultur, yang selalu menorehkan spirit
kemanusiaan yang terimplementasi dalam kebudayaan yang terbuka dan penuh
toleransi. Gambaran ini sejalan dengan konsep Masyarakat Madani yang
dipopulerkan oleh mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia DR. Anwar
Ibrahim.
Gambaran arah
konstruksi peradaban tersebut, umumnya mengandung nilai-nilai yang ideal, serta
meniscayakan suatu perubahan yang terus menerus secara progresif
(transformasi). Hanya saja, dalam rekaman sejarah model-model perubahan
itu, selalau menampakan wajah yang pro-establishment, kontra- establishment,
konstruksi dan dekonstruksi. Huntington, memaparkan model-model perubahan dalam
transisi demokrasi menuju demokrasi di Amerika Latin dalam model transplacement,
replacement, dan transformation. (The Waves Of Democratization,
1997). Atau dalam kajian ilmu sosial perubahan itu memiliki paradigma:
evolusi, revolusi dan transformasi. Tahapan-tahapan perubahan tersebut,
hendaknya medapatkan kajian yang kritis dan mendalam terutama dalam memandang
dunia Islam. Dalam Islam, perubahan itu, sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh
pandangan teologis. Hal ini tergambar dalam fakta empiris masyarakat
Islam, yang mengalami pasang-surut sejarah.
Kontowijoyo,
dalam tesis monumentalnya, mengurai teori Tiga Tahap Augus Comte dalam tahapan
kesadaran keagamaan umat Islam, yaitu Mitos, Ideologi, dan Ilmu. Elaborasi
gagasan ini sangat tepat dalam menggambarkan terhadap model perubahan
masyarakat Islam, terutama dalam konteks masyarakat Indonesia. Gagasan ini
hendaknya merefleksi umat Islam dalam menangkap pesan sejarah perubahan,
sehingga kita tidak hanya mampu mengisi sejarah, namun mampu memainkan dan membuat
sejarah dengan penuh kesadaran. Fase ini, merupakan kunci utama dalam tahapan
konstruksi peradaban Islam, yang menurut Kontowijoyo sebagai Peradaban
Profetik, dimana agama telah menyatu dalam kehidupan manusia.
Dalam gagasan
perubahan ini, yang menjadi kunci utama adalah lahirnya aktor, sebagai agent
perubahan. Salah satu aktor penting dalam sejarah perubahan adalah generasi
muda sebagai tulang punggung perubahan. Mahasiswa sebagai bagian dari generasi
muda tersebut, hendaknya tidak kehilangan spirit perubahan dalam memandang
sejarah yang dialektis-historis. IMM sebagai organisasi mahasiswa Islam,
memiliki tanggung jawab sosial yang besar dalam memainkan arah rekayasa
perubahan, menuju bangunanan peradaban progresif. Diusianya yang ke-43 tahun,
IMM memiliki tanggungjawab sejarah yang besar dalam melahirkan aktor-aktor
kritis-progresif, ditengah keterpurukan bangsa Indonesia yang mengalami krisis
multi-dimensional. Lahirnya kader-kader progresif tersebut, merupakan keniscayaan
dalam membangun peradaban baru bagi bangsa Indonesia, sebab bukan hanya akan
menghadapai tantangan dari luar, berupa neo-liberalisme yang merupakan bagian
dari neo-imferialisme, tetapi juga para penguasa yang dhalim, yang tidak
berpihak pada rakyat kecil. Michael Porter (Ekonom AS) mengatakan bahwa
bangkitnya suatu bangsa membutuhkan modal sosial, berupa kesadaran masyarakat
dalam membangun bangsanya.
Membangun kesadaran masyarakat, khususnya dalam konteks ke-Indonesiaan
bukanlah sebuah pekerjaan mudah. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat dengan
penyakit amnesia politik, warga bangsa ini sangat mudah melupakan peristiwa
masa lalu ataupun dosa masa lalu sehingga kesalahan dalam memilih pemimpin
ataupun untuk menciptakan sebuah tata sosial kehidupan yang beradab tidak
terwujud hingga saat ini. Maka peranan organisasi sosial yang berbasis kaum
intelektual seperti IMM sangatlah penting untuk mengkonstruk masa depan umat
dan bangsa tercinta. Upaya membangun kesadaran ini haruslah dikonstruk
secara cerdas dan kreatif lewat berbagai model pendekatan dengan melakukan
maksimalisasi potensi mahasiswa. Pendekatan dengan memanfaatkan instrumen
budaya seperti teater, wayang, tarian, dongeng, dan sebagainya yang sangat
dekat dengan kehidupan sebagian warga bangsa Indonesia. Pendekatan ilmiah lewat
tulisan, diskusi, seminar, dan lain-lain cukup harus semakin digiatkan untuk
membangun keasadaran masyarakat (community awareness).
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sebagai bagian dari komponen bangsa
dengan trilogi gerakan, intelektualitas, humanitas, dan spiritualitas merupakan
penegasan identitas gerakannya sebagai lokomotif dakwah yang modernis. IMM
tidak saja lahir sebagai jawaban gerakan mahasiswa yang reaktif bahkan
pragmatis, juga sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar Persyarikatan
Muhammadiyah bagi kalangan akademisi. Berangkat dari culture gerakan
intelektual sebagai fondasi gerakan mahasiswa baik sebagai gerakan pemikiran
maupun aksi sosial, maka IMM mengusung ide pencerahan intelektual sebagai
langkah awal untuk pencerahan peradaban. Ide pencerahan peradaban lahir sebagai
jawaban akan keresahan masyarakat dunia terhadap hegemoni peradaban barat yang
kapitalistik-materialistik yang secara nyata menjerumuskan manusia-manusia
modern hari ini menjadi teraleniasi dari nilai-nilai sejatinya sebagai manusia.
Masyarakat menjadi pragmatis dan melupakan eksistensinya sebagai Khalifatun
Fill Arr, untuk memakmurkan bumi dan seluruh penghuninya. Upaya membangun
culture intelektual telah dilakukan oleh IMM sejak awal kelahirannya 14 tahun
yang silam, yang sendirinya mempertegas identitas gerakan IMM sebagai gerakan
intelektual dan spiritual.
Culture intelektual yang dibangun oleh IMM dalam berbagai dimensi, menjadi
upaya untuk membentuk insan-insan akademisi yang tidak hanya memiliki
kecerdasan intelektual an sich tetapi juga bangunan aqidah yang kokoh
sehingga gerakan yang dibangun, mulai dari gerakan pemikiran untuk memproduksi
ide dan gagasan sampai kepada aksi sosial sebagai bentuk pembumian ide dan
gagasan tadi tidak akan tercerabut dari aqidah Islam sebagai ideologi
gerakannya yang geniune dan universal. Aktivis Islam modern hari ini, harus
kembali mengkaji lebih dalam dan mengelaborasi khazanah intelektual
pemikir-pemikir Islam masa lalu yang telah lama ditinggalkan oleh umat Islam,
sambil melakukan kajian etis-kritis terhadap pemikiran-pemikiran yang
dikembangkan oleh para intelektual barat sebagai bagian untuk membangun culture
intelektual. Culture intelektual diarahkan pada upaya menumbuhkan nilai-nilai
intelektual mahasiswa dan kader, melahirkan ide, gagasan yang transformatif dan
menggerakkan sekaligus melahirkan metode gerakan yang lebih sistematis,
terencana, dan sustainable sebagai gerakan perubahan sosial ditengah-tengah
masyarakat. Selain itu culture intelektual akan melahirkan sebuah ciri khas
gerakan mahasiswa khususnya IMM sebagai gerakan intelektual-spiritual atau
intelektual profetik yang senantiasa dinamis untuk menjawab berbagai persoalan,
baik itu ditingkat lokal, nasional bahkan internasional.
Aktivis yang memiliki intelektualitas dan spiritualitas sekaligus tentu
adalah prototipe aktivis IMM yang sesungguhnya, yakni aktivis yang
memiliki wawasan intelektual dan ketajaman analisis dan dibangun diatas fondasi
aqidah Islam yang kokoh menjadikan IMM sebagai gerakan mahasiswa yang hampir
sempurna untuk meneruskan perjuangan rasulullah yang telah berhasil menciptakan
rumah peradaban yang menetramkan tidak saja bagi umat Islam tetapi bagi seluruh
masyarakat yang ada pada masanya. Penting untuk kita garis bawahi sesungguhnya
intelektual bukanlah sosok yang sekedar bergulat dengan wacana an sich
tapi lebih dari itu, ia mampu untuk terlibat dalam proses pemberdayaan dan
penyadaran masyarakat sekaligus untuk menghadirkan wajah perubahan
ditengah-tengah kehidupan umat dan bangsa. Sejalan dengan itu wilayah tugas
intelektual menurut Gramsci bukan sekedar diatas kertas atau sekedar
mentransformasikan ide dan gagasan di ruang kuliah. Intelektual harus
memerankan diri sebagai mediator, legitimator, serta memproduksi gagasan
sekaligus dibumikan. (Fajar Riza Ul Haq, 2007)
Ketika kita menempatkan intelektual hanya sebatas pengetahuan semata, maka
yang ada adalah kekeliruan yang akan menjerumuskan seseorang untuk berpihak
kepada apa yang kuat dan bukan kepada apa yang benar atau disebut oleh Boni
Hargens sebagai intelektual tukang yang setiap analisisnya ditentukan
kepentingan kekuasaan dan ditakar dengan uang dengan kata lain mereka bekerja
untuk kepentingan politik-kekuasaan. Intelektual yang benar-benar intelektual
sejati adalah mereka yang bekerja untuk kepentingan ilmu pengetahun, kebenaran,
kebaikan bersama (bonum commune) atas landasan ilmu dan moralitas.
Senada dengan itu menurut Sarumpaet (2005) keberadaan dan perananan kaum
intelektual menjadi penting lantaran langkahnya punya dasar berpijak yang di
dalamnya menyimpan gagasan untuk perbaikan menghadapi masa depan. Maka, di mana
pun di dunia ini, kaum intelektual kerap bertindak sebagai pioner, perintis,
dan pemberi pencerahan atas kehidupan manusia.”
kerja intelektual oleh Syafii M’arif adalah kerja seumur hidup, itu pun
tidak akan pernah tuntas dan memuaskan. Ada saja yang kurang, ada saja yang
tidak genap. Yang pasti kerja intelektual memerlukan kesabaran dosis tinggi
untuk terus berfikir dan berfikir terus dengan stamina spiritual yang prima.
Maka intelektualitas tidak hanya menjadi simbol gerakan tetapi ia harus menjadi
kebiasaan, bagian dari hidup keseharian para aktivitis IMM khususnya, ia harus
terinternalisasi dan terkristalisasi serta menjadi identitas gerakan yang
senantiasa terus digelindingkan untuk menjawab berbagai persoalan kebangsaan.
Ketika intelektualitas telah menjadi gerakan itu sendiri maka itulah saat yang
tepat dimana gerakan IMM hadir sebagai gerakan yang mencerahkan peradaban dan
seluruh penghuni bumi termasuk didalamnya aktivis IMM dan Muhammadiyah sebagai
payung pencerahan itu sendiri. Generasi IMM masa awal telah memulai, maka mari
kita generasi IMM hari ini untuk secara bersama-sama mengambil peran untuk mencerahkan
diri dan masyarakat untuk lahirnya peradaban yang membawa kesejahteraan bagi
seluruh umat manusia yang diatas muka bumi. Lebih dari itu yang mestinya
dilakukan oleh kalangan intelektual khususnya kader-kader IMM adalah membangun
suatu diskursus yang mampu mendorong terbangunnya historical bloc (kekuatan
perlawanan bersama) dan gerakan sosial baru (new social movement) bagi
tiap-tiap warganegara Indonesia, khususnya dalam kampus sebaga basis gerakan
intelektual.
*pemerhati sosial & budaya
aktivis IMM Sulsel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar