Rabu, 14 November 2012

Konsep Manusia dalam Al Qur’an



Konsep Manusia dalam Al Qur’an

          Dalam Al Qur’an, manusia berulang kali diangkat derajatnya, dan berulangkali pula direndahkan. Manusia dinobatkan jauh mengungguli alam surga bahkan Malikat, tetapi pada saat yang sama mereka tak lebih berarti dibandingkam dengan setan terkutuk dan binatang melata sekalipun. Manusia dihargai sebagai khalifah dan makhluk yang mampu menaklukkan alam (taskhir). Namun, posisi ini bisa merosot ke tingkat ‘yang paling rendah dari segala yang rendah (asfala safiin)’.
          Gambaran kontradiktif menyangkut keberadaan manusia itu menandakan bahwa makhluk yang namanya manusia itu unik, makhluk yang serba dimensi, ada di antara predisposisi negative dan positif. Al Qur’an memperkenalkan tiga istilah kunci (key term) yang mengacu pada makna pokok manusia, yaitu Al Basyar, Al Insan, dan An Nas. Penggunaan ketiga istilah itu jelas memiliki makna signifikan.

A.      AL-BASYAR
Dalam firman Allah SWT:
       “Bukankah Rosul itu memakan makanan dan berjalan-jalan di pasar”. QS. Al Furqon(25): 7,
       “Tidak Kami utus sebelummu para utusan kecuali merekaitu makan makanan dan berjalan-jalan di pasar”. QS. Al Furqon(25):20

          Keterjebakan orang-orang kafir_selain karena kecongkakannya, terletak pada pandangannya yang melihat seorang Nabi hanya pada sisi biologis. Karena itu, dalam pandangan mereka, ajakan Nabi tidak harus dan tidak mesti dipatuhi, karena mereka beranggapan Nabi itu berasal dari komunitasnya sendiri. Mereka tidak mempertimbangkan aspek lain dari kehadiran seorang utusan Allah, misalnya kapasitas, moralitas, kredibilitas kepribadiannya, dan akseptabilitasnya di mata umatnya. Merujuk pada Nabi-nabi sebelumnya, Allah menyuruh Nabi Muhammad untuk menegaskan bahwa secara biologis ia memang seperti manusia yang lain,
       “Katakanlah (Muhammad kepada mereka bahwa), aku ini manusia biasa (basyar) seperti kamu. Hanya saja aku diberi wahyu (oleh Allah dan diberi mandat untuk menyampaikan dakwah) bahwa Tuhanmu adalah Tuhan yang satu” QS. Al Kahfi(18):110 (lihat juga QS.41:6).
          Kelebihan dan letak perbadaan Nabi dan manusia biasa dalam komunitasnya bukan dari aspek biologisnya, tetapi keterutusannya dan penunjukan langsung dari Allah untuk membawa risalah-Nya. Pada sisi inilah Nabi dipandang sebagai “manusia luar biasa”.
          Beberapa ayat tadi dengan jelas menegaskan bahwa konsep basyar selalu dihubungkan denga sifat-sifat ketubuhan (biologis) manusia yang mempunyai bentuk/postur tubuh, mengalami pertumbuhan dan perkembangan jasmani, makan, minum, berjalan-jalan di pasar, bergerak dan lain-lain. Dengan kata lain, basyar dipakai untuk merujuk dimensi alamiah yang menjadi ciri pokok manusia pada umumnya.

B.       AL-INSAN
          Kata Al Insan disebut sebanyak 65 kali dalam Al Qur’an. Hampir semua ayat yang menyebut manusia dengan menggunakan Al Insan, konteksnya selalu menampilkan manusia sebagai makhluk yang istimewa, secara moral maupun spiritual. Makhluk yang memiliki keistimewaan dan keunggulan-keunggulan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Jalaluddin Rahmat (1994) memberi pengertian luas Al Insan ini pada tiga kategori.
Pertama,  Al Insan dibubungkan dengan keistimewaan manusia sebagai khalifah di muka bumi dan pemikul amanah.
Kedua, Al Insan dikaitkan dengan predisposisi negative yang inheren dan laten pada diri manusia. Kedua konteks di atas merujuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual.
Ketiga, Al Insan disebut-sebut dalam hubungannya dengan proses penciptaan manusia.



Kategori pertama
Menunjuk pada keistimewaan manusia sebagai wujud yang berbeda dengan makhluk lain. Keberadaan dan keistimewaan_dalam hal ini juga berarti keunggulan_ manusia itu bisa dijelaskan, sebagai berikut:
Pertama: Al Qur’an memandang manusia sebagai “makhluk unggulan” atau “puncak penciptaan” Tuhan, keunggulan manusia terletak pada wujud kejadiannya sebagai makhluk yang diciptakan dengan kualitas “ahsanu taqwim”, sebaik-baik penciptaan (QS. At Tin(95):5). Manusia juga disebut sebagai makhluk yang dipilih oleh Tuhan (QS. Thahaa(20):112) untuk mengemban tugas kekhalifahan di muka bumi (QS. Al Baqarah(2):30).

Kedua: Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dipercaya Tuhan untuk mengemban amanah (QS. Al Ahzab(33):72), sebuah beban sekaligus tanggung jawabnya sebagai makhluk yang dipercaya dan diberi mandat mengelola bumi. Menurut Fazlurrahman (1990), amanah terkait dengan fungsi kreatif manusia untuk menemukan hukum alam, menguasainya_atau dalam bahasa Al Qur’an dengan istilah “mengetahui nama-nama semua benda” (al asma’ kullaha)_ dan kemudian menggunakannya dengan inisiatif moral untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih baik. Sedangkan Thathaba’I (tt,XVI:349-51) memaknai amanah lebih sebagai predisposisi (isti’dad) untuk beriman dan mentaati Allah. Di dalamnya terkandung makna khilafah, manusia sebagai pemikul al wilayah al ilahiyah. Amanah inilah yang dalam ayat-ayat lain disebut sebagai perjanjian primordial atau perennial (‘ahd, mitsaq, ’isr). Perjanjian itu digambarkan secara metaforis perennial kepada janin yang berada dalam kandungan. Tuhan bertanya,
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?”.”Ya”, jawab si janin “kami menjadi saksi”.
Ketiga: karena manusia memikul tugas berat sebagai khalifah dan pemegang amanah yang semua makhluk tidak bersedia, maka manusia dibekali dengan seperangkat kemampuan untuk melaksanakan tugas tersebut.
Salah satu kemampuan itu adalah dibekalinya manusia dengan akal kreatif. Melalui akal kreatifnya manusia diberi konsesi untuk memilliki, menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan kreatif. Sebab, menurut Al Qur’an, manusia adalah makhluk yang diberi ilmu,
“Dia yang mengajar dengan pena, mengajar insan apa yang tidak diketahuinya” (QS.Al Alaq(96):4-5).
“Ia mengajar (insan) al bayan” (QS. Ar Rahman(55):3).
Manusia diberi kemampuan mengembangkan ilmu berkat nalar kreatifnya. Sebab itujuga, berkali-kali kata al insan dihubungkan dengan kata nadzar, Allah memerintahkan al insan untuk menadzar (mengamati, merenungkan, memikirkan, menganalisis) perbuatannya (QS.79:35), proses terbentuknya makanan dari siraman air hujan hingga terbentuk buah-buahan (QS.80:24-36), dan penciptaannya (QS.88:5). Dengan kemampuan ini al insan dipakai untuk menunjuk kuallitas pemikiran rasional dan kesadaran yang khusus dimiliki manusia. Dalam hubungan inilah, setelah Allah mengingatkan sifat al insan yang labil dan cenderung lupa diri, Dia berfirman :
“Akan Kami perlihatkan kepada mereka (insan) tanda-tanda Kami di alam dan diri mereka sendiri supaya jelas baginya bahwa itu al Haq”. (QS. Al Fushilat:3)

Tugas kekhalifahan dan amanah juga membawa konsekuensi bahwa al insan dibebani atau dihubungkan dengan konsep tanggung jawab (QS.75:3,36, dan QS.50:16) untuk melakukan yang terbaik. Manusia diwasiatkan agar berbuat baik (QS.29:8, QS.31:14, QS.46:15) karena setiap amalnya dicatat dengan cermat dan diberi balasan setimpal (QS.53:39). Dalam rangka itu manusia diingatkan dengan sejumlah tantangan karena insanlah yang dimusuhi syetan (QS.17:53, QS.59:16) dan ditentukan nasibnya di hari kiamat (QS.75:10,13,14; QS.79:35; QS.80:17;QS.89:23), sebagai bentuk pertanggungjawaban.

Keempat: dalam mengabdi kepada Allah manusia (al insan) sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan kondisi psikologisnya. Jika mendapat keberuntungan dan keseuksesan hidup akan cenderung sombong, takabur, dan musyrik (QS.10:12; QS.11:9; QS.17:67,83; QS.39:8,49; QS.41:49,51; QS.42:48; QS.89:15).

Pada kategori kedua, Al Insan dikaitkan dengan predisposisi negative pada diri manusia. Menurut Al Qur’an, manusia itu cenderung berbuat dzalim dan kafir (QS.14:34,QS.22:66, QS.43:15), tergesa-gesa (QS.17:11, QS.21:37), bakhil (QS.17:100), bodoh (QS.33:72), banyak membantah dan suka berdebat tentang hal-hal yang sepele sekalipun (QS.16:4,QS.18:54,QS.36:77), resah, gelisah, dan enggan membantu orang lain (QS.70:19-21), ditakdirkan untuk bersusah payah dan menderita (QS.84:6, QS.90:4), ingkar dan enggan berterima kasih kepada Tuhan (QS.100:6), suka berbuat dosa (QS.96:6, QS.75:5), dan meragukan hari akhirat (QS.19:66).

Bila dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada kategori pertama, Al Insan menjadi makhluk yang paradoksal, yang berjuang mengatasi konflik dan kekuatan yang saling bertentangan: tarik menarik antara mengikuti fitrah (memikul amanah dan menjadi khalifah) dan mengikuti nafsu negative dan merusak. Kedua kekuatan ini digambarkan dengan sangat menarik pada kategori ketiga.

Proses penciptaan manusia atau asal kejadian manusia dinisbahkan pada konsep al insan dan basyar sekaligus. Sebagai al insan, manusia diciptakan dari tanah liat, sari pati tanah, tanah (QS.15:26,QS.23:12, QS.32:7, QS.55:14). Demikian pula basyar berasal dari tanah, tanah liat kering (QS.15:28, QS.38:71,QS.30:20) dan air (QS.25:54). Sementara di ayat lain manusia disempurnakan kejadiannya dengan ditiupkannya ruh Allah ke dalam tubuhnya (QS.15:29, QS.38:72)

Ali Syariati (1982,1993) menfsirkan “tanah liat” (Lumpur) dalam penciptaan manusia sebagai simbol kerendahan dan kenistaan, sedangkan ruh Allah adalah simbol kesucian dan kemuliaan tertinggi. Jadi, kejadian manusia adalah gabungan dua anasir yang bertentangan antara Lumpur dan ruh. Allah, atau secara simbolik menggambarkan karakteristik basyari dan insani. Yang pertama unsur material dan yang kedua unsur rohani. Dalam bahasa Yusuf Qardhawi, sebagaimana dikutip Jalaluddin Rahmat (1991), manusia adalah gabungan kekuatan tanah dan hembusan Ilahi (bain qabdhat at thin wa nafkhat al ruh). Manusia adalah zat bidimensional (bersifat ganda), terdiri atas sifat material dan spiritual (rohani). Sifat materialnya akan cenderung dan menarik manusia ke arah kerendahan, agresifitas, stagnan dan immobilitas. Sedangkan unsur rohani (ruh Allah) akan mengarahkan dirinya menaik ke puncak setinggi-tingginya, yakni kepada Allah dan ruh Allah. Satu hal yang menarik, bahwa kedua unsur ini harus berada dalam keseimbangan, “tidak boleh (seorang mulmin) mengurangi hak-hak tubuh untuk memenuhi hakruh, dan tidak boleh ia mengurangi hak-hak ruh untuk memenuhi hak tubuh”.

C.      AN-NAS
          Konsep An Nas mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Manusia dalam arti An Nas ini paling banyak disebut Al Qur’an (240 kali). Menariknya, dalam mengungkapkan manusia sebagai makhluk sosial, Al Qur’an tidak pernah melakukan generalisasi.

Penjelasan konsep ini dapat ditunjukkan dalam dua hal:
Pertama
Banyak ayat yang menunjukkan kelompok-kelompok sosial dengan karakteristiknya masing-masing yang satu sama lain belum tentu sama. Ayat-ayat ini biasanya menggunakan ungkapan wa min al nas (dan diantara manusia). Memperhatikan ungkapan ini kita menemukan perunjuk Tuhan bahwa ada kelompok manusia yang menyatakan beriman padahal sebetulnya tidakberiman (QS.2:8), yang mengambil sekutu-sekutu selain Allah (QS.2:165), yang hanya memikirkan kehidupan dunia (QS.2:200), yang mempesonakan orang dalam pembicaraan tentang kehidupan dunia padahal memusuhi kebenaran (QS.2:204), yang berdebat dengan Allah tanpa ilmu, petunjuk dan kitab Allah (QS.22:3, QS.31:20), yang menyembah Allah dengan iman yang lemah (QS.22:11, QS.29:10)(Rahmat:79).

Kedua
Pengelompokan manusia berdasarkan mayoritas, yang umumnya menggunakan ungkapan aksaran al nas (sebagian besar manusia). Memperhatikan ungkapan ini kita menemukan bahwa sebagian besar (mayoritas) manusia mempunyai kualitas rendah, baik dari segi ilmu maupun iman. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Al Qur’an bahwa kebanyakan manusia tidak berilmu (QS.7:187; QS.12:21; QS.28:68; QS.30:6,30; QS.45:26; QS.34:28,36; QS.40:57), tidak bersyukur (QS.2:243, QS.12:38, QS.40:61), tidak beriman (QS.11:17, QS.12:103, QS.13:1), fasiq (QS.5:49), melalaikan ayat-ayat Allah (QS.10:92), kafir (QS.17:89, QS.25:50), dan kebanyakan harus menanggung adzab (QS.22:18). Ayat-ayat di atas dipertegas dengan ayat-ayat yang lain untuk menunjukkan betapa sedikitnya (qolil) kelompok manusia yang beriman (QS.2:88; QS.4:46,66,155; QS.38:24), yang berilmu atau dapat mengambil pelajaran (QS.7:3, QS.18:22, QS.27:62, QS.40:58,QS.69:42), yang mau bersyukur atas nikmat Allah (QS.7:10, QS.23:78, QS.32:9, QS.34:13, QS.67:23), dan_sebagian kelompok sosial lain_ selamat dari azab Allah (QS.11:116), dan tidak bisa diperdayakan syetan (QS.4:83). Kedua kelompok tersebut dapat disimpulkan dalam ayat berikut:
“Jika kamu ikuti kebanyakan yang ada di bumi, mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah”. (QS.6:116)
Dari uraian di atas, tampak Al Qur’an memandang manusia dari serbadimensi, sebagai makhluk biologis, psikologis, dan sosial. Sebagaimana ada hukum biologis manusia, maka ada juga hukum-hukum yang mengendalikan manusia sebagai makhluk psikologis dan sosial.

Manusia sebagai basyar berkaitan erat dengan unsur material yang dilambangkan dengan tunduk kepada “takdir” Allah di alam semesta. Sama taatnya dengan matahari, gunung, hewan dan tumbuhan. Ia tumbuh dan berkembang akhirnya mati. Dalam keadaan ini manusia dengan sendirinya musayyar (menerima apa adanya, nrimo ing pandhum, tidak punya pilihan). Akan tetapi, manusia sebagai al insan dn an nas beetalian dengan hembusan ruh Tuhan. Keduanya tetap dikenakan aturan-aturan (sunnatullah), tetapi ia diberikan kebebasan dari kekuatan untuk tunduk atau melepaskan diri dari hukum itu. Dititik ini manusia menjadi makhluk yang mukhayaar(punya kebebasan dan pilihan alternative). Ia bisa terjerembab ke lembah nista, tetapi ia bisa melakukan pendakian spiritual luar biasa, menyerap sifat-sifat rabbaniyah_menurut ungkapan Ibn’Arabi_seperti sama’, basyar, kalam, qadar, rahman, malik, ghoffar, alim, dansebagainya. Ia mengemban wilayah Ilahiyah seperti Thabathaba’i. Karena itu, ia dituntut untuk bertanggung jawab.

Karena pada manusia ada predisposisi negative dan positif sekaligus. Menurut Al Qur’an, kewajiban manusia adalah memenangkan predisposisi positif. Ini terjadi bila manusia tetap setia pada amanah yang dipikulnya. Secara konkrit kesetiaan ini diungkapkan dengan kepatuhan pada syariat yang dirancang sesuai amanah. Al Qur’an tidak lain merupakan rangkaian ayat yang mengingatkan manusia untuk memenuhi janjinya itu.
Ada dua komponen esensial yang membentuk hakikat manusia berbeda dan membedakannya dengan makhluk lain, yaitu potensi mengembangkan iman dan ilmu. Buah dari keduanya adalah amal shalih. Di kedua aspek ini hakikat kemanusiaan sesungguhnya. Karena menurut Al Qur’an sedikit manusia yang beriman dan berilmu. Kelompok terakhir inilah yang disebut Al Qur’an,
“Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu diantara kamu”. (QS. Al Mujadilah(58):11)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar