Konsep
Manusia dalam Al Qur’an
Dalam
Al Qur’an, manusia berulang kali diangkat derajatnya, dan berulangkali pula
direndahkan. Manusia dinobatkan jauh mengungguli alam surga bahkan Malikat,
tetapi pada saat yang sama mereka tak lebih berarti dibandingkam dengan setan
terkutuk dan binatang melata sekalipun. Manusia dihargai sebagai khalifah dan
makhluk yang mampu menaklukkan alam (taskhir).
Namun, posisi ini bisa merosot ke tingkat ‘yang paling rendah dari segala yang
rendah (asfala safiin)’.
Gambaran
kontradiktif menyangkut keberadaan manusia itu menandakan bahwa makhluk yang
namanya manusia itu unik, makhluk yang serba dimensi, ada di antara
predisposisi negative dan positif. Al Qur’an memperkenalkan tiga istilah kunci
(key term) yang mengacu pada makna pokok
manusia, yaitu Al Basyar, Al Insan, dan An Nas. Penggunaan ketiga istilah itu
jelas memiliki makna signifikan.
A.
AL-BASYAR
Dalam
firman Allah SWT:
“Bukankah Rosul itu memakan
makanan dan berjalan-jalan di pasar”.
QS. Al Furqon(25): 7,
“Tidak Kami utus sebelummu para
utusan kecuali merekaitu makan makanan dan berjalan-jalan di pasar”. QS. Al Furqon(25):20
Keterjebakan
orang-orang kafir_selain karena kecongkakannya, terletak pada pandangannya yang
melihat seorang Nabi hanya pada sisi biologis. Karena itu, dalam pandangan
mereka, ajakan Nabi tidak harus dan tidak mesti dipatuhi, karena mereka
beranggapan Nabi itu berasal dari komunitasnya sendiri. Mereka tidak
mempertimbangkan aspek lain dari kehadiran seorang utusan Allah, misalnya
kapasitas, moralitas, kredibilitas kepribadiannya, dan akseptabilitasnya di
mata umatnya. Merujuk pada Nabi-nabi sebelumnya, Allah menyuruh Nabi Muhammad
untuk menegaskan bahwa secara biologis ia memang seperti manusia yang lain,
“Katakanlah (Muhammad kepada
mereka bahwa), aku ini manusia biasa (basyar) seperti kamu. Hanya saja aku
diberi wahyu (oleh Allah dan diberi mandat untuk menyampaikan dakwah) bahwa
Tuhanmu adalah Tuhan yang satu” QS. Al
Kahfi(18):110 (lihat juga QS.41:6).
Kelebihan
dan letak perbadaan Nabi dan manusia biasa dalam komunitasnya bukan dari aspek
biologisnya, tetapi keterutusannya dan penunjukan langsung dari Allah untuk
membawa risalah-Nya. Pada sisi inilah Nabi dipandang sebagai “manusia luar biasa”.
Beberapa
ayat tadi dengan jelas menegaskan bahwa konsep basyar selalu dihubungkan denga
sifat-sifat ketubuhan (biologis)
manusia yang mempunyai bentuk/postur tubuh, mengalami pertumbuhan dan
perkembangan jasmani, makan, minum, berjalan-jalan di pasar, bergerak dan
lain-lain. Dengan kata lain, basyar dipakai untuk merujuk dimensi alamiah yang
menjadi ciri pokok manusia pada umumnya.
B.
AL-INSAN
Kata
Al Insan disebut sebanyak 65 kali dalam Al Qur’an. Hampir semua ayat yang
menyebut manusia dengan menggunakan Al Insan, konteksnya selalu menampilkan
manusia sebagai makhluk yang istimewa, secara moral maupun spiritual. Makhluk
yang memiliki keistimewaan dan keunggulan-keunggulan yang tidak dimiliki oleh
makhluk lain. Jalaluddin Rahmat (1994) memberi pengertian luas Al Insan ini
pada tiga kategori.
Pertama, Al Insan dibubungkan dengan keistimewaan
manusia sebagai khalifah di muka bumi dan pemikul amanah.
Kedua, Al Insan dikaitkan dengan
predisposisi negative yang inheren dan laten pada diri manusia. Kedua konteks
di atas merujuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual.
Ketiga, Al Insan disebut-sebut dalam
hubungannya dengan proses penciptaan manusia.
Kategori pertama
Menunjuk
pada keistimewaan manusia sebagai wujud yang berbeda dengan makhluk lain.
Keberadaan dan keistimewaan_dalam hal ini juga berarti keunggulan_ manusia itu
bisa dijelaskan, sebagai berikut:
Pertama: Al Qur’an memandang manusia
sebagai “makhluk unggulan” atau “puncak penciptaan” Tuhan, keunggulan
manusia terletak pada wujud kejadiannya sebagai makhluk yang diciptakan dengan
kualitas “ahsanu taqwim”, sebaik-baik
penciptaan (QS. At Tin(95):5).
Manusia juga disebut sebagai makhluk yang dipilih oleh Tuhan (QS. Thahaa(20):112) untuk mengemban
tugas kekhalifahan di muka bumi (QS. Al
Baqarah(2):30).
Kedua: Manusia adalah satu-satunya
makhluk yang dipercaya Tuhan untuk mengemban amanah (QS. Al Ahzab(33):72), sebuah beban sekaligus tanggung jawabnya
sebagai makhluk yang dipercaya dan diberi mandat mengelola bumi. Menurut
Fazlurrahman (1990), amanah terkait dengan fungsi kreatif manusia untuk menemukan
hukum alam, menguasainya_atau dalam bahasa Al Qur’an dengan istilah “mengetahui
nama-nama semua benda” (al asma’ kullaha)_
dan kemudian menggunakannya dengan inisiatif moral untuk menciptakan tatanan
dunia yang lebih baik. Sedangkan Thathaba’I (tt,XVI:349-51) memaknai amanah lebih sebagai predisposisi
(isti’dad) untuk beriman dan mentaati Allah. Di dalamnya terkandung makna
khilafah, manusia sebagai pemikul al
wilayah al ilahiyah. Amanah inilah yang dalam ayat-ayat lain disebut
sebagai perjanjian primordial atau perennial (‘ahd, mitsaq, ’isr). Perjanjian itu digambarkan secara metaforis
perennial kepada janin yang berada dalam kandungan. Tuhan bertanya,
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?”.”Ya”, jawab si
janin “kami menjadi saksi”.
Ketiga: karena manusia memikul tugas
berat sebagai khalifah dan pemegang amanah yang semua makhluk tidak bersedia,
maka manusia dibekali dengan seperangkat kemampuan untuk melaksanakan tugas
tersebut.
Salah
satu kemampuan itu adalah dibekalinya manusia dengan akal kreatif. Melalui akal
kreatifnya manusia diberi konsesi untuk memilliki, menemukan dan mengembangkan
ilmu pengetahuan kreatif. Sebab, menurut Al Qur’an, manusia adalah makhluk yang
diberi ilmu,
“Dia yang mengajar dengan pena, mengajar
insan apa yang tidak diketahuinya” (QS.Al
Alaq(96):4-5).
“Ia mengajar (insan) al bayan” (QS. Ar Rahman(55):3).
Manusia
diberi kemampuan mengembangkan ilmu berkat nalar kreatifnya. Sebab itujuga,
berkali-kali kata al insan dihubungkan dengan kata nadzar, Allah memerintahkan
al insan untuk menadzar (mengamati, merenungkan, memikirkan, menganalisis)
perbuatannya (QS.79:35), proses
terbentuknya makanan dari siraman air hujan hingga terbentuk buah-buahan (QS.80:24-36), dan penciptaannya (QS.88:5). Dengan kemampuan ini al insan
dipakai untuk menunjuk kuallitas pemikiran rasional dan kesadaran yang khusus
dimiliki manusia. Dalam hubungan inilah, setelah Allah mengingatkan sifat al
insan yang labil dan cenderung lupa diri, Dia berfirman :
“Akan Kami perlihatkan kepada mereka (insan)
tanda-tanda Kami di alam dan diri mereka sendiri supaya jelas baginya bahwa itu
al Haq”. (QS. Al Fushilat:3)
Tugas
kekhalifahan dan amanah juga membawa konsekuensi bahwa al insan dibebani atau
dihubungkan dengan konsep tanggung jawab (QS.75:3,36,
dan QS.50:16) untuk melakukan yang terbaik. Manusia diwasiatkan agar
berbuat baik (QS.29:8, QS.31:14,
QS.46:15) karena setiap amalnya dicatat dengan cermat dan diberi balasan
setimpal (QS.53:39). Dalam rangka
itu manusia diingatkan dengan sejumlah tantangan karena insanlah yang dimusuhi
syetan (QS.17:53, QS.59:16) dan
ditentukan nasibnya di hari kiamat (QS.75:10,13,14;
QS.79:35; QS.80:17;QS.89:23), sebagai bentuk pertanggungjawaban.
Keempat: dalam mengabdi kepada Allah
manusia (al insan) sangat dipengaruhi
oleh lingkungan dan kondisi psikologisnya. Jika mendapat keberuntungan dan
keseuksesan hidup akan cenderung sombong, takabur, dan musyrik (QS.10:12; QS.11:9; QS.17:67,83; QS.39:8,49;
QS.41:49,51; QS.42:48; QS.89:15).
Pada kategori kedua, Al Insan dikaitkan
dengan predisposisi negative pada diri manusia. Menurut Al Qur’an, manusia itu
cenderung berbuat dzalim dan kafir (QS.14:34,QS.22:66,
QS.43:15), tergesa-gesa (QS.17:11,
QS.21:37), bakhil (QS.17:100),
bodoh (QS.33:72), banyak membantah
dan suka berdebat tentang hal-hal yang sepele sekalipun (QS.16:4,QS.18:54,QS.36:77), resah, gelisah, dan enggan membantu
orang lain (QS.70:19-21),
ditakdirkan untuk bersusah payah dan menderita (QS.84:6, QS.90:4), ingkar dan enggan berterima kasih kepada Tuhan (QS.100:6), suka berbuat dosa (QS.96:6, QS.75:5), dan meragukan hari
akhirat (QS.19:66).
Bila
dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada kategori pertama, Al Insan menjadi
makhluk yang paradoksal, yang berjuang mengatasi konflik dan kekuatan yang
saling bertentangan: tarik menarik antara mengikuti fitrah (memikul amanah dan
menjadi khalifah) dan mengikuti nafsu negative dan merusak. Kedua kekuatan ini
digambarkan dengan sangat menarik pada kategori
ketiga.
Proses
penciptaan manusia atau asal kejadian manusia dinisbahkan pada konsep al insan
dan basyar sekaligus. Sebagai al insan, manusia diciptakan dari tanah liat,
sari pati tanah, tanah (QS.15:26,QS.23:12,
QS.32:7, QS.55:14). Demikian pula basyar berasal dari tanah, tanah liat
kering (QS.15:28, QS.38:71,QS.30:20)
dan air (QS.25:54). Sementara di
ayat lain manusia disempurnakan kejadiannya dengan ditiupkannya ruh Allah ke
dalam tubuhnya (QS.15:29, QS.38:72)
Ali
Syariati (1982,1993) menfsirkan “tanah
liat” (Lumpur) dalam penciptaan
manusia sebagai simbol kerendahan dan kenistaan, sedangkan ruh Allah adalah
simbol kesucian dan kemuliaan tertinggi. Jadi, kejadian manusia adalah gabungan
dua anasir yang bertentangan antara Lumpur dan ruh. Allah, atau secara simbolik
menggambarkan karakteristik basyari dan insani. Yang pertama unsur material dan
yang kedua unsur rohani. Dalam bahasa Yusuf Qardhawi, sebagaimana dikutip
Jalaluddin Rahmat (1991), manusia adalah gabungan kekuatan tanah dan hembusan
Ilahi (bain qabdhat at thin wa nafkhat al
ruh). Manusia adalah zat bidimensional (bersifat ganda), terdiri atas sifat
material dan spiritual (rohani). Sifat materialnya akan cenderung dan menarik
manusia ke arah kerendahan, agresifitas, stagnan dan immobilitas. Sedangkan
unsur rohani (ruh Allah) akan mengarahkan dirinya menaik ke puncak
setinggi-tingginya, yakni kepada Allah dan ruh Allah. Satu hal yang menarik,
bahwa kedua unsur ini harus berada dalam keseimbangan, “tidak boleh (seorang mulmin) mengurangi hak-hak tubuh untuk memenuhi
hakruh, dan tidak boleh ia mengurangi hak-hak ruh untuk memenuhi hak tubuh”.
C.
AN-NAS
Konsep
An Nas mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Manusia dalam arti An Nas
ini paling banyak disebut Al Qur’an (240 kali). Menariknya, dalam mengungkapkan
manusia sebagai makhluk sosial, Al Qur’an tidak pernah melakukan generalisasi.
Penjelasan
konsep ini dapat ditunjukkan dalam dua hal:
Pertama
Banyak
ayat yang menunjukkan kelompok-kelompok sosial dengan karakteristiknya
masing-masing yang satu sama lain belum tentu sama. Ayat-ayat ini biasanya
menggunakan ungkapan wa min al nas (dan
diantara manusia). Memperhatikan ungkapan ini kita menemukan perunjuk Tuhan
bahwa ada kelompok manusia yang menyatakan beriman padahal sebetulnya
tidakberiman (QS.2:8), yang
mengambil sekutu-sekutu selain Allah (QS.2:165),
yang hanya memikirkan kehidupan dunia (QS.2:200),
yang mempesonakan orang dalam pembicaraan tentang kehidupan dunia padahal
memusuhi kebenaran (QS.2:204), yang
berdebat dengan Allah tanpa ilmu, petunjuk dan kitab Allah (QS.22:3, QS.31:20), yang menyembah
Allah dengan iman yang lemah (QS.22:11,
QS.29:10)(Rahmat:79).
Kedua
Pengelompokan
manusia berdasarkan mayoritas, yang umumnya menggunakan ungkapan aksaran al nas (sebagian besar manusia).
Memperhatikan ungkapan ini kita menemukan bahwa sebagian besar (mayoritas) manusia mempunyai kualitas
rendah, baik dari segi ilmu maupun iman. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan
Al Qur’an bahwa kebanyakan manusia tidak berilmu (QS.7:187; QS.12:21; QS.28:68; QS.30:6,30; QS.45:26; QS.34:28,36;
QS.40:57), tidak bersyukur (QS.2:243,
QS.12:38, QS.40:61), tidak beriman (QS.11:17,
QS.12:103, QS.13:1), fasiq (QS.5:49),
melalaikan ayat-ayat Allah (QS.10:92),
kafir (QS.17:89, QS.25:50), dan
kebanyakan harus menanggung adzab (QS.22:18).
Ayat-ayat di atas dipertegas dengan ayat-ayat yang lain untuk menunjukkan betapa
sedikitnya (qolil) kelompok manusia
yang beriman (QS.2:88; QS.4:46,66,155;
QS.38:24), yang berilmu atau dapat mengambil pelajaran (QS.7:3, QS.18:22, QS.27:62,
QS.40:58,QS.69:42), yang mau bersyukur atas nikmat Allah (QS.7:10, QS.23:78, QS.32:9, QS.34:13,
QS.67:23), dan_sebagian kelompok sosial lain_ selamat dari azab Allah (QS.11:116), dan tidak bisa diperdayakan
syetan (QS.4:83). Kedua kelompok
tersebut dapat disimpulkan dalam ayat berikut:
“Jika kamu ikuti kebanyakan yang ada di
bumi, mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah”. (QS.6:116)
Dari
uraian di atas, tampak Al Qur’an memandang manusia dari serbadimensi, sebagai
makhluk biologis, psikologis, dan sosial. Sebagaimana ada hukum biologis
manusia, maka ada juga hukum-hukum yang mengendalikan manusia sebagai makhluk
psikologis dan sosial.
Manusia
sebagai basyar berkaitan erat dengan unsur material yang dilambangkan dengan
tunduk kepada “takdir” Allah di alam semesta. Sama taatnya dengan matahari,
gunung, hewan dan tumbuhan. Ia tumbuh dan berkembang akhirnya mati. Dalam
keadaan ini manusia dengan sendirinya musayyar
(menerima apa adanya, nrimo ing pandhum,
tidak punya pilihan). Akan tetapi, manusia sebagai al insan dn an nas beetalian
dengan hembusan ruh Tuhan. Keduanya tetap dikenakan aturan-aturan (sunnatullah), tetapi ia diberikan
kebebasan dari kekuatan untuk tunduk atau melepaskan diri dari hukum itu.
Dititik ini manusia menjadi makhluk yang mukhayaar(punya
kebebasan dan pilihan alternative). Ia bisa terjerembab ke lembah nista, tetapi
ia bisa melakukan pendakian spiritual luar biasa, menyerap sifat-sifat
rabbaniyah_menurut ungkapan Ibn’Arabi_seperti
sama’, basyar, kalam, qadar, rahman,
malik, ghoffar, alim, dansebagainya. Ia mengemban wilayah Ilahiyah seperti Thabathaba’i. Karena itu, ia dituntut
untuk bertanggung jawab.
Karena
pada manusia ada predisposisi negative dan positif sekaligus. Menurut Al
Qur’an, kewajiban manusia adalah memenangkan predisposisi positif. Ini terjadi
bila manusia tetap setia pada amanah yang dipikulnya. Secara konkrit kesetiaan
ini diungkapkan dengan kepatuhan pada syariat yang dirancang sesuai amanah. Al
Qur’an tidak lain merupakan rangkaian ayat yang mengingatkan manusia untuk
memenuhi janjinya itu.
Ada
dua komponen esensial yang membentuk hakikat manusia berbeda dan membedakannya
dengan makhluk lain, yaitu potensi mengembangkan iman dan ilmu. Buah dari
keduanya adalah amal shalih. Di kedua aspek ini hakikat kemanusiaan
sesungguhnya. Karena menurut Al Qur’an sedikit manusia yang beriman dan
berilmu. Kelompok terakhir inilah yang disebut Al Qur’an,
“Allah mengangkat derajat orang-orang yang
beriman dan berilmu diantara kamu”. (QS.
Al Mujadilah(58):11)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar